Rabu, 21 Juli 2010
Indonesia memiliki potensi pendapatan dari REDD sebesar US$3,8 miliar hingga US$15 miliar per tahun. Namun,
SANUR, Bali (Bisnis.com): Potensi pendapatan yang hilang akibat dari kewajiban untuk konservasi hutan, di sektor usaha hulu hingga ke hilir, harus ikut dihitung dalam mekanisme penurunan emisi dari deforestrasi (reducing emissions from deforestation/REDD).
Sejumlah ilmuwan yang mempresentasikan penelitian mereka dalam salah satu sesi di acara pertemuan internasional Association for Tropical Biology and Conservation (ATBC), yang diselenggarakan mulai Selasa hingga Jumat pekan ini, menyebutkan hingga kini potensi pendapatan tersebut belum dimasukkan dalam harga karbon yang dijual lewat mekanisme REDD.
REDD merupakan salah satu mekanisme yang digunakan dalam transaksi emisi karbon, di mana pemilik hutan bisa mendapatkan sejumlah dana dari karbon yang tersimpan di hutan tersebut, sehingga hutan tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan komersial.
Jaboury Ghazoul, profesor di bidang ecosystem management dari Swiss Federal Institute of Technology Zurich, menyebutkan Indonesia memiliki potensi pendapatan dari REDD sebesar US$3,8 miliar hingga US$15 miliar per tahun. Namun, ada sejumlah biaya yang timbul dari komitmen untuk memelihara hutan tersebut.
Menurut dia, REDD menimbulkan biaya administrasi atau institusional karena untuk bisa mendapatkan dana REDD dibutuhkan usaha yang cukup besar, biaya pengawasan, hingga kerugian yang timbul akibat tindak korupsi terhadap dana yang diperoleh.
Biaya lainnya adalah biaya yang timbul dari masalah sosial dan biaya ekonomi berupa potensi pendapatan yang bisa dihasilkan dari berbagai sektor usaha dan kehidupan yang sebelumnya tergantung pada pengelolaan hasil hutan, termasuk sektor yang ikut terkena dampak apabila usaha-usaha yang memanfaatkan hasil hutan dikurangi aktivitasnya.
Mengutip data dari Kementerian Kehutanan dan sejumlah institusi lainnya, Ghazoul menyebutkan setidaknya ada 350.000 orang yang bekerja langsung di sektor kehutanan, di mana 36% di antaranya merupakan penduduk asli yang berada di berbagai kawasan di Kalimantan.
Selain itu, ada 3,1 juta orang pekerja yang terkait dengan hutan, seperti pekerja pada industri bubur kertas (pulp) yang memang dihasilkan dari kayu. Ghazoul juga mencontohkan nasib para pekerja yang terkait dengan industri furniture di Jepara, yang pastinya akan berubah apabila pasokan kayu untuk industri tempat mereka bekerja dikurangi atau bahkan dihentikan. Setidaknya ada 176.470 pekerja furniture di Jepara.
“Usaha pengangkutan hingga jasa yang terkait dengan keberadaan industri furniture di sana pasti akan ikut terpengaruh. Ini baru satu daerah kecil saja di Indonesia. Ada banyak daerah-daerah lain yang juga pastinya akan mengalami nasib yang sama. Jadi, semua ini harus diperhitungkan di dalam REDD,” kata Ghazoul hari ini.
Dia menyebutkan salah satu alternatif yang dapat dilakukan Pemerintah Indonesia adalah menggunakan dana yang diperoleh dari mekanisme REDD untuk menciptakan hutan yang kayunya dapat digunakan untuk industri yang selana ini tergantung pada hutan yang ada.
“Ini memang membutuhkan usaha yang keras. Atau dana dari REDD bisa juga digunakan untuk membuka peluang usaha baru, sehingga masyarakat bisa beralih ke sana. Namun, itu lebih sulit lagi untuk dilakukan,” jelasnya.
Dia mengakui belum melakukan penghitungan secara spesifik apakah dana yang diperoleh Indonesia dari REDD mencukupi untuk membuat program-program pengganti tersebut. “Saya belum melakukan kalkulasi apakah dana dari REDD cukup untuk mendanai semua itu,” katanya saat ditemui seusai presentasi.
Namun, Brendan P. Fisher, dari Princeton University, menyebutkan sejumlah riset menunjukkan dana yang diperoleh dari REDD tidak cukup besar untuk mengganti semua potensi ekonomi yang hilang. “Tidak cukup besar untuk meng-off set semua itu.”
Herry Purnomo, peneliti dari Center for International Forestry Research (Cifor), mengatakan Indonesia sudah pernah menghitung besaran dana REDD yang setimpal dengan kerugian ekonomi yang timbul akibat mekanisme REDD. “Namun, kurang komprehensif. Opportunity cost untuk masa depannya tidak ikut dihitung.” (mrp)
Sumber : http://web.bisnis.com/keuangan/ekonomi-makro/1id194726.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Dr. Oldy, A. A : Dampak Penambahan Kuota Beasiswa terhadap Universitas Muara Bungo dan Masyarakat
Muara Bungo, 8 Desember 2024 – Penambahan kuota beasiswa di Universitas Muara Bungo (UMB) menjadi salah satu langkah strategis yang tidak...
STUDY TATA RUANG
Struktur Sungai
-
*Kota Sungai Penuh* — Alfin SH, calon kuat dalam pemilihan Wali Kota Sungai Penuh, kembali menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak hanya tentan...
POLA RUANG SUMATERA
Kec. Jambi Selatan - Kota Jambi
BERHALE ISLAND
ISI IDRISI TAIGA
Desa Batu Kerbau - Kab. Bungo
PERATURAN TATA RUANG
DOWNLOAD PETA-PETA
Labels
Study Tata Ruang
(6)
Geospasial
(3)
PETA RTRW
(3)
PERDA RTRW
(2)
Peta Taman Nasional Bukit 30
(2)
Gunung Kerinci
(1)
Perencanaan Wilayah dan Kota
(1)
Peta Administrasi
(1)
SPASIAL
(1)
TANYA-JAWAB
(1)
TNBT
(1)
UU No 4/11 Informasi Geospasial
(1)
COMMUNICATE
+62 812731537 01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar