Dalam kaitan ini saya berpendapat, tidak cukup hanya dengan tuntutan penurunan emisi, tetapi saya cenderung mengusulkan gerakan menghutankan kembali seluruh kota didunia. Bahwa kota metropolitan dengan berbagai kegiatannya mengasilkan polutan berupa emisi carbondioksida inilah yang menjadi penyebab utama pemanasan global, ini logika saya. Karena itulah setidaknya antara 40% sampai 50% dari kontribusi emisi carbon dikonversi menjadi berapa luasan hutan dipersyaratkanh atas kota tersebut. Berati ini program secara bertahap sampai terjadi keseimbangan antara emisi carbon dengan luasan hutan kota yang wajib diwujudkan dalam kerangka mengatasi pemanasan global.
Frame work protocol Kyoto, mendudukan hutan tropis sebagai wilayah konservasi carbohydrate. Plasma nutfah yang ada dihutan membutuhkan karbohidrate karena ia adalah mahluk yang bergerak memproses pelapukan. Adalah fakta bahwa hutan tidak akan mengalami pelapukan jika tidak terdapat plasma nutfah. Hutan tidak secara otomatis menghasilkan H2O guna menyerap carbon dioksida jika miskin plasma nutfah. Dalam kerangka inilah Negara yang memiliki hutan djadikan wilayah konservasi karbohidrate, sementara daerah perkotaan tertama Negara industry maju dengan bebas melepas emisi carbondioksida.
Sebagaimana kita ketahui, bahkan negara industry maju seperti Amerika Serikat menolak protocol Kyoto yang mewajibkan konpensasi atas setiap hektar hutan atau skema carbon trade. Suatu skema yang disebut sebagai Reducing Emission from Deforestation dan Degradation (REDD) in Developing Countries, Inilah inti protocol Kyoto yang saya tentang karena sangat tidak adil terhadap masyarakat berbagai wilayah pedalaman di Indonesia.
Dengan skema REDD maka berbagai daerah di luar pulau Jawa sangat membutuhkan infrastruktur untuk mengembangkan industry diwilayahnya demi tersedianya lapangan kerja baru, terhambat oleh aturan protektif sumber daya hutan dalam kerangka REDD tadi. Gerakan pengendalian lingkungan sejatinya memberikan kemudahan pembangunan industry agar masyarakat dapat alokasi pekerjaan baru, berpindah dari pekerjaan lama menggarap sumber daya hutan.
Menurut saya skema REDD merupakan cara kerja pemiskinan sistematis terhadap masyarakat pedalaman. Produktifitas masyarakat pedalaman negeri ini melemah karena aturan protektif deforestrasi dan pada akhirnya hanya jadi menerima santunan BLT karena adanya pendapatan negara dari konpensasi carbon trade.
Sementara itu Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties (COP) 15 di Kopenhagen, Denmark pada 7-18 Desember mendatang, diragukan bisa mencapai kesepakatan baru. Seperti diketahui bahwa penyebab terganjalnya kesepakatan baru tersebut adalah sikap Negara industry maju yang bertahan menolak mereduksi, menurunkan emisi carbon yang ditebarkan kilang industry mereka. Indonesia dan negara berkembang lainnya ditekan dengan skema REDD, hal ini berarti jalan buntu.
Pada pertemuan pendahuluan di Barcelona kelompok negara berkembang melakukan walk out sehingga tidak ada rumusan yang dihasilkan bagi COP 15 Kopenhagen.
Dalam posisi begini saya usulkan agar pada COP 15 di Kopenhagen, Denmark kita keluar dari kerangka protocol Kyoto untuk bisa bebas menggarap sumber daya hutan demi kemakmuran rakyat kita sendiri. Biarkan Negara industry maju mengembalikan hutan mereka sendiri. Kita menolak menjadi penyangga kegiatan industri negara maju untuk kepentingan kemakmuran mereka. Dalam kaitan pemanasan global, maka hutan negeri ini kita jadikan bargaining power sebagai penyeimbang peta politik perekonomian global.
Sumber : http://koskarppbbantaeng.blogspot.com/2010/07/hutan-posisi-tawar-strategis-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar