Oleh: Ir. Sarwo Handayani, M.Si
Kepala Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta
1. Pendahuluan
Terbitnya Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang seiring dengan makin menguatnya keprihatinan global terhadap isu pemanasan global dan pembangunan berkelanjutan yang harus menjadi salah satu concern utama dalam pembangunan baik di negara maju maupun negara berkembang. Di dalam negeri sendiri, Undang-undang tersebut juga sejalan dengan semakin kritisnya kondisi lingkungan di Indonesia yang ditandai dengan fenomena semakin sering dan besarnya banjir, serta tanah longsor yang melanda hampir seluruh wilayah Indonesia terutama di Pulau Jawa.
Kepala Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta
1. Pendahuluan
Terbitnya Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang seiring dengan makin menguatnya keprihatinan global terhadap isu pemanasan global dan pembangunan berkelanjutan yang harus menjadi salah satu concern utama dalam pembangunan baik di negara maju maupun negara berkembang. Di dalam negeri sendiri, Undang-undang tersebut juga sejalan dengan semakin kritisnya kondisi lingkungan di Indonesia yang ditandai dengan fenomena semakin sering dan besarnya banjir, serta tanah longsor yang melanda hampir seluruh wilayah Indonesia terutama di Pulau Jawa.
Dalam rangka merespon hal-hal tersebut, berbeda dengan Undang-undang terdahulu, pada Undang-undang Nomor 26/2007, muatan terkait dengan isu lingkungan hidup semakin ditekankan. Salah satunya adalah dalam kaitan dengan Perencanaan Ruang Wilayah Kota yang diharuskan memuat rencana penyediaan dan pemanfatan ruang terbuka hijau (RTH).
Undang-undang tersebut mencantumkan bahwa setiap kota dalam rencana tata ruang wilayahnya diwajibkan untuk mengalokasikan sedikitnya 30% dari ruang atau wilayahnya
untuk RTH, dimana 20% diperuntukan bagi RTH publik yang merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah kota dan digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum, serta 10% diperuntukan bagi RTH private pada lahan-lahan yang dimiliki oleh swasta atau masyarakat.
untuk RTH, dimana 20% diperuntukan bagi RTH publik yang merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah kota dan digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum, serta 10% diperuntukan bagi RTH private pada lahan-lahan yang dimiliki oleh swasta atau masyarakat.
Dilihat dari kondisi lingkungan perkotaan yang semakin menurun, ketentuan dalam Undang-undang Penataan Ruang tersebut sangat tepat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa secara umum kondisi lingkungan perkotaan di Indonesia sudah semakin menurun, dimana luasan ruang terbuka hijau semakin lama semakin berkurang dan berubah fungsi menjadi areal-areal komersial yang mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibanding dengan RTH.
Sudah sepantasnya aturan tersebut, yang mencoba menjawab tantangan dan permasalahan yang dihadapi kota-kota di Indonesia, harus didukung oleh semua pihak, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku ekonomi serta masyarakat (community) secara keseluruhan. Tetapi akan lebih baik lagi, jika aturan tersebut selain mencoba menjawab dan merespon kondisi dan permasalahan saat ini juga memperhitungkan kapasitas atau kelayakan dari implementasinya.
Aturan yang baik tetapi sulit untuk diimplementasikan atau dioperasionalkan akan sama nilainya dengan aturan yang sama sekali tidak menjawab permasalahan yang ada. Idealnya suatu kebijakan atau aturan harus mampu menjawab permasalahan yang ada dan sekaligus juga dapat diimplementasikan. Oleh karena itu dalam tulisan kecil ini, kemungkinan dan implikasi aturan mengenai target luasan RTH untuk Kota Jakarta akan coba diuraikan.
Tulisan ini pertama-tama akan menguraikan mengenai muatan RTH pada RTRW DKI Jakarta yang ada saat ini, dilanjutkan dengan uraian mengenai kondisi RTH serta pengalaman penyediaan dan pemanfaatannya di DKI Jakarta, implikasi Undang-undang Nomor 26/2007 terkait dengan potensi RTH yang ada dan kapasitas penyediaan RTH oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, serta alternatif yang tersedia bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengakomodir UU nomor 26/2007 dalam RTRW DKI Jakarta yang akan datang.
Walaupun tulisan ini memfokuskan pembahasan pada ruang terbuka hijau, akan tetapi
walaupun hanya sedikit akan disinggung pula mengenai pemanfaatan ruang terbuka non
hijau terutama terkait dengan kegiatan sektor informal.
2. RTH dalam RTRW 2010
Dengan jumlah penduduk 8,9 juta jiwa pada malam hari dan penduduk siang berkisar 10,2 juta pada siang hari dengan kepadatan 13.000-15.000 jiwa / km2 serta pertumbuhan penduduk sekitar 1.11% per tahun, Jakarta membutuhkan RTH yang tidak saja berfungsi estetika dan edukatif tetapi juga sebagai sarana yang mempunyai fungsi sosial. Penting bagi Jakarta memiliki taman dan hutan kota yang dapat dijadikan tempat interaksi sosial dan tempat wisata murah bagi warganya, selain berfungsi estetika dan edukatif.
Bagi Jakarta, fungsi RTH juga sangat penting dilihat dari aspek perlindungannya. Jakarta dilalui oleh 13 sungai dan terdapat kurang lebih 44 waduk dan situ yang memerlukan perlindungan dari penyempitan akibat penggunaan tepiannya. Dalam kaitannya dengan ini, RTH dapat berfungsi untuk melindungi badan-badan air tersebut. Fungsi perlindungan ini juga diperlukan mengingat semakin berkurangnya cadangan air tanah di DKI Jakarta, dimana RTH dapat berfungsi sebagai kawasan resapan untuk air tanah tersebut.
Terakhir, dengan semakin tingginya pemanfaatan bahan bakar fosil, RTH dapat berfungsi sebagai penetralisir pencemaran udara di Jakarta. Pentingnya fungsi RTH untuk paru-paru
kota dimaksudkan untuk mengantisipasi makin tingginya jumlah kendaraan bermotor saat ini yang telah berjumlah 5,7 juta unit dengan laju pertumbuhan 9.5% per tahun.
Kesadaran akan pentingnya fungsi RTH bagi Kota Jakarta tersebut dijabarkan dalam aturan daerah mengenai tata ruang yaitu Perda nomor 6 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta atau dikenal dengan RTRW 2010. Dalam perda tersebut, RTH diistilahkan sebagai “kawasan hijau” yang dibagi ke dalam kawasan hijau lindung dan kawasan hijau binaan dengan prosentase keseluruhan kedua kawasan tersebut hingga tahun 2010 ditetapkan sebanyak 13.94% dari luas keseluruhan DKI Jakarta (lihat gambar 1).
Arahan pengembangan kawasan hijau di Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut (Lihat
Gambar 2):
- Hutan Lindung dan Hutan Kota diarahkan pada beberapa pulau di Kepulauan Seributerutama pada zona inti dan pelindung, serta Hutan Angke Kapuk, Hutan Kamal Muara, dan Hutan Muara Angke.
- Hijau pengaman air diarahkan pada sempadan sungai dan sempadan situ atau danau
- Hijau rekreasi/taman kota diarahkan pada beberapa spot di setiap wilayah Kota
- Kawasan pertanian diarahkan pada beberapa kawasan yang saat ini masih merupakan kawasan atau areal pertanian.
- Kawasan daerah resapan air diarahkan pada Kawasan Bagian Selatan Kota Jakarta yang dilakukan melalui pembatasan intensitas pembangunan fisik.
Jika klasifikasi tersebut disesuaikan dengan UU nomor 26/2007, maka terlihat bahwa sebagian besar arahan RTH di DKI Jakarta adalah RTH private (lihat gambar 1). Bagian terbesar kawasan hijau sebagaimana tercantum dalam RTRW 2010 adalah pada Bagian Selatan, yang berfungsi sebagai kawasan resapan air, dimana dalam pemanfaatannya masih dimungkinkan untuk kegiatan lain tetapi dengan intensitas rendah (KDB bekisar 20%-40%).
Hal ini yang sering menimbulkan kesalahpahaman yang berbutut pada tuduhan
bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengizinkan pembangunan pada kawasan
RTH. Pembahasan mengenai hal ini akan diuraikan lebih dalam pada bagian selanjutnya
dari tulisan ini.
bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengizinkan pembangunan pada kawasan
RTH. Pembahasan mengenai hal ini akan diuraikan lebih dalam pada bagian selanjutnya
dari tulisan ini.
Pada RTRW 2010 tersebut juga telah mencantumkan bahwa kawasan hijau lindung dan
kawasan hijau binaan tidak dapat dirubah fungsi dan peruntukannya terutama untuk
Penyempurna Hijau Umum (dalam terminologi UU nomor 26/2007 adalah RTH publik).
Dengan demikian, walaupun secara prosentase target RTH pada RTRW 2010 lebih rendah
dari target RTH sebagaimana tercantum dalam UU nomor 26 tahun 2007, tetapi dapat
dikatakan bahwa telah ada komitmen untuk menjaga ketersedian RTH di Provinsi DKI
Jakarta.
Pada saat ini RTRW 2010 sedang dalam proses evaluasi secara komprehensif dan diharapkan pada tahun 2010 nanti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan Perda baru mengenai RTRW 2010-2030 yang antara lain akan mengadopsi aturan-aturan baru sebagai mana tercantum dalam Undang-undang Nomor 26/2007. Akan tetapi sambil menunggu RTRW baru tersebut, RTRW 2010 masih digunakan sebagai acuan sementara, walaupun dalam pelaksanaannya di lapangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah dan akan mencoba mengacu pada Undang-undang Penataan Ruang yang baru.
3.Kondisi, Pengalaman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Provinsi DKI Jakarta
Pada saat ini luas RTH publik di Provinsi DKI Jakarta kurang lebih telah mencapai 10% dari luas DKI Jakarta atau seluas kurang lebih 6.874,06 ha. Selama lima tahun terakhir ini, berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan RTH. Program penghijauan selama lima tahun ini dilakukan dengan cukup intensif dan diberi nama gerakan “Jakarta yang Hijau Royo-royo dan Berkicau”.
Salah satu komponen dari gerakan “Jakarta Hijau Royo-royo dan Berkicau” adalah melakukan pemeliharaan dan penataan taman yang memiliki fungsi multi-dimensi, yaitu dimensi ekologis, edukatif dan sosial. Contoh dari taman-taman semacam ini adalah Taman Monas, Taman Menteng, Taman Suropati dan Taman Lapangan Banteng. Penataan taman tersebut juga dibarengi dengan penataan jalur-jalur hijau baik jalur hijau jalan maupun jalur hijau tepian air.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga membangun taman-taman interaktif di kawasan
permukiman terutama di permukiman padat penduduk. Taman semacam ini selain berfungsi sebagai katup sosial melaui interaksi di dalamnya seperti melalui kegiatan olah raga dan bermain yang dapat mencegah anak-anak untuk bermain di jalan. Tujuan pembangunan taman interaktif ini adalah mendekatkan lokasi taman ke warga yang sulit menjangkau taman-taman kota skala besar. Umumnya taman interaktif ini memiliki luas kurang lebih 500 – 1000 m2.
Program taman interaktif ini juga diiringi dengan program potinisasi dimana pot-pot tanaman digantung dan diletakan di sepanjang gang-gang yang tidak bisa ditanami pohon. Upaya untuk mendorong partisipasi masyarakat di kawasan RTH antara lain dilakukan melalui pembangunan RTH sebagai bagian dari kewajiban fasos fasum pengembang, pembangunan dan pemeliharaan RTH oleh swasta atau masyarakat yang mampu dengan sistem adopsi dimana mereka bertindak menjadi semacam “Bapak Angkat” yang akan memelihara dan menata taman. Sistem adopsi ini telah berjalan di beberapa lokasi RTH seperti di taman/jalur hijau Gunung Agung dan Kepala Gading.
Untuk masyarakat menengah ke bawah, diharapkan adanya partisipasi masyarakat melalui
penataan lingkungan dan halaman rumahnya. Untuk kelompok masyarakat ini Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta membagikan pohon-pohon produktif kepada mereka.
Terkait dengan pengembangan hutan kota, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam lima
tahun terakhir ini telah berhasil menambah jumlah lokasi hutan kota sebanyak 20 lokasi. Selain itu pada hutan alami di Bagian Utara Jakarta, upaya penanaman pohon mangrove giat dilaksanakan. Hampir kurang lebih 50.000 pohon mangrove telah ditanam dalam 5 tahun terakhir ini. Adapun untuk kawasan pertanian, walaupun kontribusi terhadap perekonomian Jakarta tidak terlalu signifikan tetapi upaya untuk mempertahankan kawasan-kawasan pertanian yang masih tersisa terus dilakukan.
tahun terakhir ini telah berhasil menambah jumlah lokasi hutan kota sebanyak 20 lokasi. Selain itu pada hutan alami di Bagian Utara Jakarta, upaya penanaman pohon mangrove giat dilaksanakan. Hampir kurang lebih 50.000 pohon mangrove telah ditanam dalam 5 tahun terakhir ini. Adapun untuk kawasan pertanian, walaupun kontribusi terhadap perekonomian Jakarta tidak terlalu signifikan tetapi upaya untuk mempertahankan kawasan-kawasan pertanian yang masih tersisa terus dilakukan.
Dari pengalaman peyedian dan pemanfaatan RTH sampai saat ini terdapat berbagai
permasalahan dan kendala yang dihadapi. Permasalahan dan kendala tersebut antara lain
adalah:
- Masih adanya peruntukan RTH yang dimanfaatkan untuk kegiatan non RTH secara illegal
- Ketersediaan lahan yang semakin menipis ditambah peningkatan aktivitas ekonomi Jakarta menyebabkan harga tanah semakin tinggi dan diatas NJOP.
- Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap keberadaan taman, jalur-jalur hijau dan tanaman – tanaman penghijauan yang ada; misalnya dalam Pengembangan Taman Monas dan Taman Stadion Menteng;
- Terbatasnya Sumber Daya Pemerintah dan masih belum terselesaikannya permasalahan transportasi dan banjir di Jakarta yang membutuhkan anggaran biaya yang sangat besar
- Belum optimalnya sistem pendataan dan informasi mengenai RTH
- Kurangnya koordinasi antar instansi terkait dalam penataan RTH
- Masih terdapatnya mis-persepsi dan mis-informasi mengenai RTH yang mengakibatkan partisipasi masyarakat tidak optimal
- Kurang efektifnya penegakan hukum.
- Rendahnya pengendalian kewajiban penyediaan fasos fasum untuk RTH
- Distribusi RTH yang kurang merata di Wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Khusus mengenai adanya RTH yang dimanfaatkan untuk kegiatan non RTH secara illegal, dapat disampaikan bahwa anggapan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan pembedaan perlakukan terhadap pengusaha besar dan masyarakat kecil yang menempati
RTH adalah tidak berdasar dan merupakan kesalahpahaman. Walaupun masih diperlukan
upaya penyempurnaan, akan tetapi kebijakan yang ada adalah tegas yaitu tidak mengijinkan perorangan ataupun kelompok untuk memanfaatkan peruntukan kawasan hijau lindung dan hijau binaan untuk kegiatan lain ataupun mengalihfungsikan RTH, baik untuk kegiatan komersial seperti perumahan mewah, apartement, mall, SPBU, ataupun kegiatan informal dan ilegal lainnya.
RTH adalah tidak berdasar dan merupakan kesalahpahaman. Walaupun masih diperlukan
upaya penyempurnaan, akan tetapi kebijakan yang ada adalah tegas yaitu tidak mengijinkan perorangan ataupun kelompok untuk memanfaatkan peruntukan kawasan hijau lindung dan hijau binaan untuk kegiatan lain ataupun mengalihfungsikan RTH, baik untuk kegiatan komersial seperti perumahan mewah, apartement, mall, SPBU, ataupun kegiatan informal dan ilegal lainnya.
Untuk beberapa kasus yang dituduhkan dapat disampaikan bahwa pembangunan pada “kawasan yang sepertinya adalah merupakan kawasan RTH” pada dasarnya adalah bukan
merupakan kawasan RTH sepenuhnya, tetapi merupakan kawasan yang didominasi oleh RTH tetapi masih diberbolehkan dengan intensitas ruang yang kecil digunakan untuk kegiatan non RTH, seperti yang terjadi di Kawasan Senayan. Kawasan Senayan merupakan kawasan dengan intensitas ruang yang rendah, sehingga jika intensitas tersebut belum terlampaui masih dimungkinkan untuk pembangunan.
Untuk peruntukan RTH yang telah terlanjur beralih fungsi ataupun untuk sementara digunakan untuk kegiatan lain, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan upaya refungsionalisasi taman dengan memprioritaskan pembebasan dan pengembalian fungsi peruntukannya dari non RTH menjadi RTH. Salah satu bentuk program ini adalah melakukan refungsi SPBU yang beroperasi di jalur hijau/ruang terbuka hijau. Target untuk refungsi SBPU ini sebanyak 32 SPBU, dimana 4 SPBU telah direfungsikan sedangkan sisanya sedang dalam proses refungsionalisasi. Sementara itu, RTH yang digunakan untuk permukiman illegal, seperti disepanjang tepian air, jalur kereta api, dan kolong tol, pada saat ini terdapat kurang lebih 73.673 keluarga yang menempati kawasan tersebut.
Upaya menguranginya antara lain dengan melakukan relokasi ke rumah susun sewa sederhana yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bagi penduduk ber-KTP DKI dan memulangkan ke kampung halamannya bagi yang bukan penduduk DKI Jakarta. Untuk pedagang kaki lima yang menempati RTH maupun ruang terbuka non RTH di Provinsi DKI Jakarta jumlahnya cenderung menurun dimana pada tahun 2005 terdapat sebanyak kurang lebih 92.750 usaha kaki lima dengan tenaga kerja kurang lebih sebanyak 139.390 jiwa. Pedagang kaki lima yang menempati lokasi tidak resmi (illegal) telah berkurang dari 83.8% menjadi 78.4% dalam lima tahun ini. Pengurangan ini juga tampak dari berkurangnya usaha kaki lima yang menempati trotoar dan badan jalan yang berkurang dari 66.85% menjadi 59.7 % dalam lima tahun ini.
Pengurangan tersebut antara lain diakibatkan adanya upaya untuk menyediakan lokasi resmi untuk usaha kaki lima yang dapat dibedakan menjadi lokasi penampunan/pembinaan (lokasi pedagang kaki lima di lahan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dimana terdapat 20 lokasi dan 4 lokasi diantaranya sedang ditingkatkan menjadi pasar), lokasi sementara (lokasi pada prasarana kota, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang ditetapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dimana terdapat 266 lokasi), lokasi terkendali (lokasi pada areal milik perorangan atau badan), dan lokasi terjadwal (lokasi pada kegiatan atau event tertentu seperti PRJ).
4. Implikasi Target RTH: antara Potensi dan Keterbatasn Kapasitas
Salah satu implikasi terpenting dari UU nomor 26 tahun 2007 adalah kewajiban untuk menyediakan dan memanfaatkan 30% ruang sebagai RTH dengan 20% untuk RTH publik
dan 10% RTH private. Untuk mencapai target RTH tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan akan menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
- Pembelian lahan
- Peremajaan Kawasan
- Penetapan Kewajiban Pengembang
- Mempertahankan RTH yang sudah ada melalui refungsionalisasi, pengamanan & sosialisasi
- Mendorong pemanfaatan RTH private secara lebih optimal dan inovatif seperti penggunaan roof garden, wall garden, peningkatan konsistensi perijinan, dst.
Untuk meningkatkan luasan RTH publik dari seluas 6.874 ha atau 10% dari luas DKI
Jakarta menjadi seluas seluas 13.478 ha atau 20%, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu
melakukan pembelian lahan seluas kurang lebih 6.800 Ha. Bagi kota seperti Jakarta
dimana tingkat supply tanah semakin tipis dan demand yang begitu tinggi, biaya yang
dibutuhkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak sedikit bahkan sangat besar.
Jika dilihat dari sisi potensi ketersediaan RTH publik di DKI Jakarta yang ada saat ini,
antara lain pada luasan jalur kereta api, penyangga situ/waduk, sempadan sungai dan
pantai, termasuk lahan hasil reklamasi dan pulau-pulau di Kepulauan Seribu, serta tidak
kalah pentingnya potensi tambahan lahan dari kewajiban pengembang, maka potensi
maksimal RTH publik yang dapat dapat diperloleh adalah berkisar 13%-15%. Dengan
demikian lahan yang masih perlu diakusisi untuk mencapai 20% RTH publik, kurang lebih
cukup 6% saja dari luas yang dibutuhkan yaitu 6.800 Ha.
Dengan asumsi bahwa harga tanah rata-rata di Jakarta berkisar antara Rp. 1,75 jt/m2, maka kebutuhan dana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya untuk mengakusisi target tersebut diperkirakan adalah sekitar Rp.71 triliun. Angka tersebut belum memperhitungkan tingkat inflasi jika pembebasannya disebar untuk beberapa tahun dan belum pula memperhitungkan biaya-biaya lainya terkait dengan pemanfaatan RTH seperti pembangunan dan penataan potensi RTH yang ada, pemeliharaan, pengamanan, sosialisasi, dll.
Dengan angka tersebut yang nilainya sekitar 300% APBD Provinsi DKI Jakarta tahun 2008 dan kemampuan menyediakan dana untuk akuisisi lahan untuk RTH saat ini yang hanya sebesar kurang lebih Rp. 500 milyar per tahunnya, maka pencapaian target RTH publik sebesar 20% akan dicapai minimal selama 140 tahun.
Terdapat beberapa skenario lain untuk mempercepat pencapaian target tersebut. Skenario
yang paling optimis adalah pertambahan RTH publik maksimal hanya sebesar 0,2% per
tahun. Dengan demikian, berdasar skenario optimis ini, paling tidak menambah target RTH
publik baru sebesar 10% dari luas DKI Jakarta akan tercapai selama 50 tahun.
Permasalahan lainnya terkait kapasitas pembesan lahan ini adalah adanya batasan bahwa
dalam pembebasan lahan harga yang dibayarkan tidak dapat melebihi NJOP. Sementara
itu, harga lahan di Provinsi DKI Jakarta semakin lama semakin meningkat jauh diatas NJOP apalagi untuk daerah-daerah strategis di pusat kota. Hal ini semakin menurunkan kapasitas pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membebaskan lahan bagi RTH.
Terkait dengan upaya untuk peremajaan kawasan permukiman kumuh dengan merelokasinya ke Rusun, dengan jumlah keluarga pada permukiman tersebut sebanyak 73.673 keluarga dan dengan asumsi bahwa 1 KK menempati rata-rata seluas 20 m2, maka potensi lahan untuk RTH publik di kawasan ini jika diasumsikan 50%-nya akan dijadikan sebagai RTH dan sisanya tetap digunakan untuk kawasan permukiman atau kegiatan lain, akan berkisar sebesar 74 ha.
Akan tetapi kapasitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan peremajaan dan merelokasi ke rusun masih sangat terbatas. Pada saat ini, kemampuan maksimal penyediaan rusunawa maksimal oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah sekitar 3.000 unit rumah per tahun. Masalah lain dari peremajaan ini adalah tingginya resistensi dari penghuni permukiman tersebut dan masyarakat lainnya yang menyalahartikan kegiatan relokasi tersebut sebagai kegiatan penggusuran yang bertentangan dengan Hak Azasi Manusia.
Potensi lainnya untuk menambah RTH di Propinsi DKI Jakarta adalah dengan melakukan refungsionalisasi lahan RTH yang merupakan asset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetapi digunakan untuk kegiatan non RTH seperti SPBU atau digunakan secara illegal untuk kegiatan kaki lima. Kegiatan illegal ini umumnya dilakukan oleh masyarakat tanpa izin resmi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Seperti pada relokasi permukiman illegal, walaupun secara aturan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempunyai hak untuk memanfaatkan asset yang dimilikinya dan juga peruntukannya memang untuk RTH, tetapi masih banyak pihak beranggapan bahwa refungsionalisasi ini merupakan pelanggaran terhadap hak azasi manusia untuk kasus refungsionalisasi pedagang kaki lima, dan menurunkan pendapatan daerah dan perekonomian kota dalam kaitan dengan refungsionalisasi SPBU.
Memperhatikan aspirasi agar refungsionalisasi kawasan pedagang kaki lima tersebut dilakukan dengan memperhatikan hak azasi manusia, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta umumnya mencoba memberikan waktu bagi mereka untuk mencari lokasi-lokasi resmi untuk berdagang dan membongkar sendiri bangunannya. Akan tetapi dalam beberapa kasus, yang terjadi adalah bahwa para pedagang tidak bersedia untuk pindah dan membongkar sendiri sehingga dilakukan dengan cara penertiban.
Dalam skala yang luas, kapasitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan refungsionalisasi ini juga terbatas mengingat besarnya jumlah pedagang kaki lima yang ada. Selain itu, dalam beberapa kasus walaupun pedagang kaki lima itu menempati dan melakukan kegiatan ekonomi yang illegal dan tidak resmi, akan tetapi mereka dan masyarakat merasa mereka melakukan kegiatan ekonomi yang legal karena tetap mendapatkan pelayanan dari penyediaan layanan umum terutama listrik dan telepon. Hal ini juga terjadi untuk beberapa kasus permukiman illegal, dimana disatu sisi mereka mendiami kawasan permukiman secara illegal tetapi kawasan tetap mendapatkan layanan listrik.
Masalah permukiman dan pedagang kaki lima illegal ini juga terkait dengan masalah kependudukan, dimana banyak dari mereka merupakan migran. Dengan demikian seharusnya tanggungjawabnya bukan hanya ada pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi juga menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah asal para migran.
Pemerintah Daerah asal para migran dapat ikut bertanggung jawab misalnya
dengan memberikan semacam surat jaminan kepada para migran sehingga akan
memudahkan DKI Jakarta dalam menanganinya. Bagi Provinsi DKI Jakarta, potensi terbesar untuk meningkatkan luasan RTH publik adalah melalui penetapan kewajiban pengembang (pengembang diwajibkan menyediakan lahan RTH dengan luas tertentu), partisipasi masyarakat dan swasta (melalui Comercial Social Resposibility), serta secara konsisten mengamankan lahan-lahan yang dimiliki.
dengan memberikan semacam surat jaminan kepada para migran sehingga akan
memudahkan DKI Jakarta dalam menanganinya. Bagi Provinsi DKI Jakarta, potensi terbesar untuk meningkatkan luasan RTH publik adalah melalui penetapan kewajiban pengembang (pengembang diwajibkan menyediakan lahan RTH dengan luas tertentu), partisipasi masyarakat dan swasta (melalui Comercial Social Resposibility), serta secara konsisten mengamankan lahan-lahan yang dimiliki.
Walaupun di sana sini masih terdapat kelemahan, akan tetapi dalam upaya-upaya ini kapasitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat dioptimalkan tanpa banyak kendala yang berarti. Adapun mengenai pencapaian RTH private, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan terus membenahi mekanisme insentif dan disinsentif dalam penyediaan RTH, meningkatkan konsistensi perizinan, serta memperbaiki metode sosialisasi agar partisipasi, kesadaran, serta kepatuhan masyakat untuk menyediakan RTH pada lahan miliknya semakin meningkat. Dengan semakin baiknya tata pemerintahan di Provinsi DKI Jakarta, nampaknya masalah pencapaian RTH private ini tidak akan menjadi masalah yang berarti dan bahkan mungkin merupakan salah satu jalan keluar untuk mencapai 30% RTH melalui berbagai upaya yang lebih inovatif dan intensif dalam mendorong penyediaan RTH private menjadi lebih dari 10%.
Salah satu aspek lain terkait penyediaan RTH adalah penyediaan RTH di Jakarta seharusnya tidak dilepaskan dari penyediaan RTH dalam konteks Jabodetabekpunjur. Kawasan ini harus dilihat sebagai suatu kesatuan ekologis dan penyediaan RTH harus mempertimbangkan hal ini. Akan tetapi, kapasitas untuk menempatkan RTH dalam konteks Jabodetabekpunjur ini belum optimal dan masih memerlukan beberapa terobosan baik dari segi aturan maupun dari segi kelembagaannya.
Dari uraian pada bagian ini, dapat disimpulkan bahwa potensi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyediakan luasan RTH publik sebesar 20% dan 10% RTH private cukup besar akan tetapi kapasitas untuk penyediaan RTH publik masih terbatas, antara lain dalam hal pembiayaan, aturan pembebasan lahan, perbedaan persepsi tentang permukiman dan kegiatan illegal di RTH, dan menempatkan penyediaan RTH dalam konteks Jabodetabekpunjur. Di lain sisi, dibandingkan dengan penyediaan RTH publik, penyediaan RTH private nampaknya merupakan salah satu alternatif yang perlu didorong untuk minimal dapat mengurangi ketimpangan ketersediaan RTH Publik yang ada.
5. Pilihan Kebijakan RTH: Sebuah Dilema
Dalam rangka menyusun RTRW DKI Jakarta 2010-2030, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
wajib mengadopsi aturan pencapaian penyedian dan pemanfatan RTH seluas 30% dari
luas DKI Jakarta. Melihat kapasitas yang ada saat ini, maka terdapat beberapa pilihan
alternatif dalam menentukan kebijakan mengenai target RTH. Bagi Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta, memasukan aspek penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTRW tersebut tidak
menjadi masalah dan Provinsi DKI Jakarta sangat membutuhkan hal itu. Permasalahannya
adalah dalam menentukan target besaran luasan RTH.
Sampai saat ini terdapat beberapa pilihan kebijakan terkait dengan penyediaan RTH, yaitu:
- Mengadopsi secara total target pencapaian RTH dengan menetapkan RTH publik sebesar 20% dan RTH private 10%. Dengan kebijakan ini, maka hampir dipastikan target itu tidak akan tercapai, tetapi di lain pihak RTRW DKI Jakarta tidak akan melanggar ketetapan UU nomor 26 tahun 2007. Dengan alternatif ini resiko penolakan Perda RTRW oleh Pemerintah Pusat (pengesahan oleh Departemen Dalam Negeri) dapat diminimalisir dan juga resiko aturan pemerintah daerah yang menyalahi aturan yang lebih tinggi tidak terjadi. Akan tetapi dalam alaternatif ini, penetapan target yang hampir pasti tidak akan dapat tercapai seperti menyimpan bom waktu yang pada suatu saat nanti dapat menjadi masalah.
- Menyesuaikan target RTH yang lebih realistis, yaitu RTH publik sekitar 13% -15% dan RTH private 10%. Dalam alaternatif ini, implementasi kebijakan penetapan ini hampir pasti dapat dilaksanakan dan tercapai serta kebijakan yang ada akan lebih realistis. Akan tetapi sampai saat ini, tidak begitu jelas dan tegas apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap RTRW DKI Jakarta itu karena aturan yang lebih tinggi telah dilanggar oleh aturan daerah.
- Mengadopsi total target RTH tetap 30% tetapi menyesuaikan proposinya dengatarget RTH publik sebesar 14% dan RTH private sebesar 16%. Dalam alternatif ini jalan tengah tercapai dalam arti secara total penetapan RTH tidak melanggar UU yang ada, dan juga target yang ditetapkan dapat lebih realistis karena Provinsi DKI Jakarta akan lebih fokus pada potensi RTH yang sudah ada. Selain itu, dalam alternatif ini beban penyediaan RTH di DKI Jakarta dibagi antara Pemerintah Daerah dan aktor lainnya. Permasalahannya adalah hal ini dapat memerlukan partisipasi masyarakat yang tinggi dan dapat mengundang resistensi dari masyarakat serta
resiko penolakan Perda oleh Pemerintah Pusat tidak dapat terminimalisir sepenuhnya.
Masih banyak alternatif lainnya, akan tetapi yang harus dicatat di sini adalah bahwa
kewajiban 30% RTH telah menjadikan dilema yang cukup pelik dan membuat Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta berada pada posisi yang serba sulit antara memiliki kebijakan yang
realistis atau kebijakan yang sesuai dengan aturan yang ada. Untuk memecahkan dilema
ini diperlukan adanya semacam dialog antara berbagai pihak baik itu Pemerintah Pusat,
civil society, Pemerintah Daerah lainnya di sekitar Jakarta dan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta sendiri. Dengan itu, diharapkan akan tercapai kesamaan persepsi dan adanya
saling memahami posisi dan kesulitan masing-masing sekaligus merumuskan solusi
bersama dimana tercapai Win-win Solution.
6. Referensi
Masih banyak alternatif lainnya, akan tetapi yang harus dicatat di sini adalah bahwa
kewajiban 30% RTH telah menjadikan dilema yang cukup pelik dan membuat Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta berada pada posisi yang serba sulit antara memiliki kebijakan yang
realistis atau kebijakan yang sesuai dengan aturan yang ada. Untuk memecahkan dilema
ini diperlukan adanya semacam dialog antara berbagai pihak baik itu Pemerintah Pusat,
civil society, Pemerintah Daerah lainnya di sekitar Jakarta dan Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta sendiri. Dengan itu, diharapkan akan tercapai kesamaan persepsi dan adanya
saling memahami posisi dan kesulitan masing-masing sekaligus merumuskan solusi
bersama dimana tercapai Win-win Solution.
6. Referensi
- UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dept. Pekerjaan Umum. Jakarta,2007
- Peraturan Daerah nomor 26 tahun 1999 tentang RTRW DKI Jakarta. Bapeda DKI Jakarta. Jakarta, 1999
- Kinerja Pembangunan DKI Jakarta tahun 2002-2007. Bapeda Provnisi DKI Jakarta. Jakarta, 2007
- Masukan untuk Evaluasi RTRW 2010. Bapeda DKI Jakarta. Jakarta, 2006
- RPJMD PRovinsi DKI Jakarta 2008-2012. Bapeda DKI Jakarta. Jakarta, 2008
- Renstra Dinas Pertamanan 2007-2012. DInas Pertamanan. Jakarta, 2007
- Buku Saku Informasi/Data SPKLH Prov. DKI Jakarta 2007. Biro ASP Prov. DKI Jakarta. Jakarta, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar