Minggu, 03 Juni 2012
Inovasi dalam Perlindungan Lahan Pangan
Bustanul Arifin, Guru Besar UNILA dan Professorial Fellow di InterCAFE dan MB-IPB
Telah dijelaskan tentang bahaya konversi lahan sawah bagi masa depan produksi pangan strategis, terutama beras sebagai pangan pokok. Demikian juga, faktor konversi lahan pangan menjadi ancaman serius bagi pencapaian target-target besar pemerintah, seperti surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014, swasembada jagung berkelanjutan, swasembada gula tahun 2014 dan swasembada kedelai pada tahun 2015. Indonesia memerlukan inovasi kebijakan dalam perlindungan lahan pangan serta progam-program lain yang inovatif dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, seperti tentang jasa lingkungan hidup dan karakter multi-fungsi pertanian itu sendiri.
Di Indonesia lumrah terdengar istilah “sawah terjepit”, yang menggambarkan suatu kondisi sawah merana di sekitar perumahan, industri atau tata-guna perkotaan lain karena sukar memperoleh pengairan memadai. Kebutuhan tenaga kerja juga tidak mudah diperoleh karena penduduk sekitar sawah terjepit tersebut umumnya lebih banyak berorientasi perkotaan, sekalipun pada tingkat buruh industri atau pekerja bangunan.
Secara ekonomi, tingkat upah relatif untuk produksi padi pada areal marjinal ini menjadi sangat mahal, yang secara perlahan tidak akan mampu terjangkau oleh petani padi, pada kelas menengah sekalipun. Fenomena semakin langkanya harga faktor produksi esensial seperti pupuk dan pestisida juga menjadi insentif buruk bagi petani untuk tetap bertahan di dalam sistem produksi padi. Akibatnya, laju konversi lahan sawah produktif menjadi tidak terhindarkan.
Degradasi kualitas lingkungan hidup, kerusakan hutan di hulu, yang menjadi sumber utama tata-air bagi persawahan, juga menjadi faktor penting dalam laju konversi sawah produktif. Saat ini semakin mudah dijumpai sistem water harvesting yang rusak, karena kemampuan daya menahan air dari tanah-tanah pertanian di Indonesia juga semakin berkurang. Sistem organisasi petani pemakai air (P3A) yang semakin pudar di beberapa tempat juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Karena organisasi P3A menjadi benteng penjaga terakhir yang mengetahui kualitas pengairan sawah-sawah produktif.
Persoalan lain yang termasuk dalam pembahasan “kesengajaan” konversi lahan sawah produktif menjadi kegunaan lain adalah praktik tata-ruang masih urban-bias, walaupun dengan konsep agropolitan sekalipun. Orientasi pembangunan ekonomi yang salah di kalangan pemimpin daerah, ternyata lebih banyak mementingkan konversi lahan sawah produktif, atas nama keuntungan investasi jangka pendek dan bahkan pendapatan asli daerah (PAD) yang berlebihan.
Tingkat keacuhan yang masih tinggi di kalangan aparat daerah menjadi penghalang serius bagi upaya konsisten dan tegas membuat sekaligus melaksanakan peraturan daerah yang terkait dengan konversi sawah produktif. Demikian pula, Indonesia dikenal cukup lemah dalam melaksanakan penegakan hukum atas peraturan-peraturan yang ada. Contoh sederhana adalah penegakan hukum terhadap ketentuan pelanggaran peruntukan tanah dalam RT/RW masih agak sulit dipahami oleh sebagian aparat pemerintah di daerah dan di pusat. Di mana pun, penyusunan RTRW harus mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain pencegahan konversi tanah pertanian produktif, terutama sawah beririgasi.
Sebenarnya, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) telah mengamanatkan pemerintah dan warga negara untuk memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya dan mencegah kerusakannya. Sanksi pidana bagi siapa yang melanggar prinsip di atas pun telah secara tegas tecantum dalam Pasal 52 ayat (1) UUPA, yang juga dilengkapi sanksi pidana tegas. Akan tetapi, semua yang tersebut di pasal hanya tertulis di atas kertas, nyaris tidak pernah terbersit berita proses penegakan hukum tentang sanksi pidana yang dimaksudkan.
****
Kemampuan Pemerintah dalam melaksanakan undang-undang dan keberanian menegakkan hukum larangan konversi lahan sawah dan peraturan di bawahnya patut dipertanyakan. Aturan pelaksanaan dari UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan adalah empat Peraturan Pemerintah (PP) tentang perlindungan lahan sawah yang sebenarnya cukup komprehensif.
PP 1/2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan telah memberikan acuan untuk mengalokasikan sejumlah bidang lahan tertentu untuk pertanian pangan berkelanjutan. Demikian pula tentang PP 12/2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Insentif yang diberikan berupa pengembangan infrastruktur pertanian, pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul, kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi, penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian, jaminan penerbitan sertipikat hak atas tanah, plus bantuan keringanan pajak bumi dan bangunan.
Disamping itu, Indonesia telah memiliki PP 25/2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang memungkinkan keterbukaan informasi tentang pemanfaatan lahan beserta kesesuaiannya untuk komoditas pertanian tertentu. Terakhir adalah PP 30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang memungkinkan skema subsidi bunga dan kredit program untuk mewujudkan perlindungan lahan pangan, terutama sawah beririgasi teknis.
Peraturan perundangan baru tersebut sebenarnya hanya penegasan saja terhadap sekian macam aturan hukum dan landasan kebijakan dan sanksi yang tegas bagi pelaku konversi lahan sawah. Untuk menyebutkan beberapa saja, seperti Keputusan Presiden (Keppres) No. 53/1989 tentang Pelarangan pembangunan kawasan industri dengan Alih Fungsi Lahan Pertanian; Keppres No. 33/1990 tentang Pelarangan pemberian izin perubahan fungsi tanah basah dan pengairan beririgasi bagi kawasan industri. Pada tingkat yang lebih teknis Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional juga telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE MNA/KBPN 401-1851/ 1994 tentang encegahan pengunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian melalui penyusunan RTRW dan Surat Edara Nomor: SE MNA/KBPN 401-2261/1994 tentang Izin lokasi tidak boleh mengalihfungsikan sawah irigasi teknis.
Langkah kebijakan yang lebih inovatif juga diharapkan dalam mewujudkan perlindungan lahan pertanian pangan. Misalnya, pemerintah bersama-sama perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia dapat mengembangkan prinsip-prinsip jasa lingkungan hidup, seperti karakter multi-fungsi pertanian (multi-functionality of agriculture) yang masih terbuka lebar. Lawan sawah beririgasi teknis dan lahan pertanian pangan lainnya dapat menjadi pusat cagar budaya (land heritage) yang mampu mendorong dampak ganda kegiatan ekonomi, seperti pusat rekreasi, wisata-tani, dan pusat pendidikan dan keterampilan bagi generasi muda.
Langganan:
Postingan (Atom)
Alfin SH dan Azhar Hamzah: Memajukan Desa di Sungai Penuh melalui Implementasi Pedoman Pembangunan Desa dan SDGs
Sungai Penuh - Alfin SH dan Azhar Hamzah, calon walikota dan wakil walikota Sungai Penuh, berkomitmen memajukan desa-desa di wilayahnya deng...
STUDY TATA RUANG
Struktur Sungai
-
*Kota Sungai Penuh* — Alfin SH, calon kuat dalam pemilihan Wali Kota Sungai Penuh, kembali menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak hanya tentan...
POLA RUANG SUMATERA
Kec. Jambi Selatan - Kota Jambi
BERHALE ISLAND
ISI IDRISI TAIGA
Desa Batu Kerbau - Kab. Bungo
PERATURAN TATA RUANG
DOWNLOAD PETA-PETA
Labels
Study Tata Ruang
(6)
Geospasial
(3)
PETA RTRW
(3)
PERDA RTRW
(2)
Peta Taman Nasional Bukit 30
(2)
Gunung Kerinci
(1)
Perencanaan Wilayah dan Kota
(1)
Peta Administrasi
(1)
SPASIAL
(1)
TANYA-JAWAB
(1)
TNBT
(1)
UU No 4/11 Informasi Geospasial
(1)
COMMUNICATE
+62 812731537 01