Senin, 12 Juli 2010

MITIGASI BANJIR BANDANG PANTAI BARAT (II)

Kejadian banjir bandang dan longsor juga semakin sering terjadi di berbagai belahan dunia,  pada periode Juni-Juli 2010 telah terjadi banjir bandang yang merenggut korban jiwa antara lain di Arkansas (Amerika), Prancis Selatan, Myanmar, Singapura dan terakhir di China (Juli 2010).Pada dasarnya banjir bandang disebabkan oleh curah hujan yang sangat tinggi yang disebut dengan torrential rainfalls atau torrential precipitation dimana curah hujan total lebih 100 mm/24 jam.

Sebuah penelitian mendalam oleh Lembaga Nasional dan Meteorologi Bulgaria dalam  artikelnya : Torrential Precipitation Event in Bulgaria : A Comparative Analysis for East Bulgaria (2008) mengungkapkan kejadian hujan badai (torrential rainfalls) meningkat 50% pada kurun waktu 1991-2007 dibandingkan dengan kejadian hujan badai pada kurun 1950-1990. Kajian lanjutan membuktikan bahwa peningkatan kejadian hujan badai itu berkaitan dengan peristiwa pemanasan global (global warming up) pada permukaan bumi baik daratan maupun lautan antara 0,5-1,5°C yang telah meningkatkan penguapan massa air laut.

Pemanasan global pada laut luas (samudera) akan menciptakan penguapan air laut yang bergerak vertikal (convection) dalam skala yang luas yang disebut dengan Mesoscale Convection System. Fenomena global ini juga terjadi di Indonesia baik yang bersumber dari Samudera India maupun yang bersumber dari Samudera Pasifik. Pemanasan massa air laut di samudera India akan menciptakan gugus awan yang mengandung uap air dalam skala luas yang dibawa arus angin ke Sumatera khususnya ke kawasan pantai barat Sumatera Utara.

Gugusan awan yang mengandung uap air ini selanjutnya membentur kawasan pegunungan Bukit Barisan yang menimbulkan hujan orografis berupa hujan badai (torrential rainfalls) sebagaimana terjadi pada kejadian banjir bandang pada DAS Aek Pahu di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan pada 12 Januari 2010. Pola pergerakan awan sebagai sumber hujan yang sangat lebat pada tanggal 12 Januari 2010 itu dapat dicermati jam demi jam pada rekaman satelit cuaca MTSAT dari Kochi University Jepang.
Rekaman lapangan mencatat curah hujan 160 mm dalam durasi 2 jam 16 menit pada tanggal 12 Januari 2010 itu yang telah menimbulkan banjir bandang dan berdampak pada kerusakan perumahan karyawan PTPN III di Desa Aek Pahu/Aek Pining Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan. Untunglah tidak ada korban jiwa! Curah hujan 160 mm dalam durasi pendek : 2 jam 16 menit itu mengandung energi kinetik yang sangat besar yang akan membombardir permukaan tanah yang akan mengalami serangkain proses yang menimbulkan longsor di hulu DAS dan banjir bandang di hilir DAS.

Mitigasi longsor
Bencana alam seperti gempa bumi, longsor dan banjir bandang memiliki perulangan  (siklus) kejadian. Bencana longsor dapat berulang pada jangka waktu tahunan atau setiap tahun sekali tergantung tingkat kerentanan gerakan tanahnya. Oleh karena itu sudah suatu keharusan dalam rangka penyelamatan pra bencana atau penyelamatan sebelum bencana longsor terjadi terhadap manusia, harta benda (rumah dan segala isinya), infrastuktur, seperti jalan, jembatan, prasarana air minum, jaringan listrik, telepon dan fasilitas umum seperti rumah sekolah, lahan pertanian, permukiman, perlu dilakukan upaya mitigasi bencana longsor.

Mitigasi adalah upaya pengurangan resiko becana sebelum bencana itu terjadi. Mitigasi berbeda dengan kegiatan SAR (search and Rescue) yang merupakan kegiatan pasca bencana. Langkah pertama dan mendasar dalam upaya mitigasi bencana longsor adalah mengadakan Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah (Susceptibility to Landslide Zone Map). Suatu daerah (kabupaten atau kota) dipetakan kerentanan gerakan tanahnya sehingga dapat diketahui daerah mana saja yang sangat rawan bagi terjadinya longsor (zona KGT tinggi) atau daerah rawan longsor (zona KGT menegah), tidak rawan longsor (zona KGT rendah).

Pada Peta Zona Gerakan Tanah (Peta KGT) dapat pula diketahui jenis dan tipe longsor di suatu kabupaten/kota, apakah jenis/tipe : rayapan (creep), jatuhan/guguran (rock fall), lengseran (sliding) atau avalanche sehingga mitigasi teknisnya juga dapat dilakukan secara terarah. Selain sebagai basis penyelamatan jiwa, peta KGT dapat dan memang harus digunakan sebagai basis dalam pengembangan wilayah (kabupaten, kota, desa) dan basis perencanaan (design) konstruksi jalan, jembatan, bendungan, permukiman dlsb. 
Langkah kedua upaya penyelamatan terhadap bencana longsor di kawasan pantai Barat Sumut adalah melakukan sosialisasi peta KGT kepada masyarakat luas terutama pada masyarakat yang bermukim di daerah rawan longsor dan juga melakukan pendidikan dan pelatihan Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat (Community Based Disaster Mitigation) dalam rangka membangun kesadaran serta menumbuhkan pengertian yang pas tentang seluk-beluk kebencanaan longsor dan pelatihan reaksi cepat dalam rangka evakuasi sistematik.

Jadi setelah Peta KGT tersedia maka pendidikan dan pelatihan mitigasi bencana longsor harus dilakukan kepada masyarakat yang daerahnya rawan longsor. Mitigasi bencana berbasis masyarakat terhadap bencana banjir bandang dan longsor inilah yang tidak dilakukan di berbagai tempat rawan longsor seperti di Jawa sehingga rakyat tidak waspada dan tidak mampu berreaksi cepat menyelamatkan diri sebagaimana terjadi di desa Gunung Rejo Kecamatan Banjarmangu Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah yang mengubur 200 orang yang tidak siaga.

Jadi dalam rangka penyelamatan jiwa rakyat yang yang bermukim di daerah rawan longsor di berbagai daerah kabupaten/kota kawasan Pantai Barat Sumatera Utara lakukanlah terlebih dahulu pemetaan zona kerentanan gerakan tanah, selanjutnya sosialisasikan dan lakukan penyadaran dan pelatihan reaksi cepat dalam menghadapi bencana longsor dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat seluas-luasnya pada daerah rawan longsor.

Mitigasi Pantai Barat
Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan akan menetapkan Kecamatan Sipirok sebagai  ibukota kabupaten. Untuk maksud itu adalah penting dan perlu kiranya Pemkab. Tapanuli Selatan melakukan penilaian (assesment) resiko bencana geologi (longsor, banjir bandang, gempabumi) terhadap tataruang kecamatan Sipirok yang posisinya berada dalam jarak dan pengaruh yang sangat dekat dengan jalur kegempaan dari patahan Toru dan patahan Angkola.

Selain itu kondisi geologis, topografis, dan klimatologis tataruang kecamatan Sipirok rentan bagi terjadinya longsor dan banjir bandang. Bahkan denyut bumi Kecamatan Sipirok sebagai cikal bakal ibukota kabupaten perlu pula diketahui dan dipetakan dengan melakukan survei kegempaan mikro (microtremor) untuk mengetahui tingkat resiko bencana gempabumi-nya dalam rangka mitigasi bencana gempabumi.
 
Mitigasi terhadap tataruang kecamatan Sipirok sebagai cikal bakal ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan dimaksudkan agar sejak dini dapat dilakukan upaya-upaya yang terrencana dan sistematis dalam rangka menciptakan tataruang yang berketahanan terhadap bencana (spatial proof disaster). Selain kecamatan Sipirok, upaya mitigasi terhadap tataruang kecamatan-kecamatan lainnya yang rawan bencana geologis (longsor, banjir bandang, gempabumi) perlu dilaksanakan terhadap kecamatan-kecamatan : Batang Toru, Muara Batang Toru, Marancar, Angkola Barat/Angkola Sangkunur, Angkola Selatan, Batang Angkola, Sayurmatinggi, Angkola Tanotombangan dan Angkola Timur.

Dari hasil observasi tinjau yang penulis lakukan beberapa waktu yang lalu, kiranya Pemkab. Tapanuli Selatan perlu mewaspadai potensi bencana longsor (earth movement) terhadap tataruang kecamatan Batang Toru – Muara Batang Toru – Marancar. Pemkab. Tapanuli Selatan perlu melakukan kajian yang mendalam untuk menilai tingkat bahaya/ancaman bencana longsor terhadap kota kecamatan Batang Toru serta menentukan upaya mitigasi dalam rangka stabilisasi ancaman longsor (landslide stabilizing) mengingat posisi kota kecamatan Batang Toru dalam kerangka ancaman bahaya longsor memiliki kesamaan dengan Guinsaugon di Pilipina selatan itu. Kota Kecamatan Batangtoru tempaknya berada pada posisi lidah (toe) longsoran seperti Guinsaugon. Peribahasa mengatakan sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tak berguna. Jadi jangan pandang remeh ancaman bencana longsor terhadap Batangtoru.

Uraian pra kondisi kawasan rentan terhadap bencana geologis (longsor, banjir bandang dan gempabumi) dari kecamatan-kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan dimaksudkan pula untuk mengungkapkan perspektif akan terdapatnya potensi atau ancaman bencana geologis terhadap kawasan lain di daerah pengunungan Bukit Barisan dari kawasan pantai barat Sumut ini mulai dari : Madina, Tapsel, Padang Sidempuan, Palas, Paluta, Tapteng, Pakpak Bharat, Dairi dan Samosir. Oleh karena itu pemkab/pemko dalam lingkup kawasan pantai barat Sumut tersebut sudah seharusnya melakukan upaya pengurangan resiko bencana (mitigasi) dari ancaman bencana longsor, banjir bandang dan gempabumi.

Semoga kepemimpinan baru dari hasil pilkada barusan di kawasan pantai barat Sumut ini juga memunculkan paradigma baru yang peduli terhadap keselamatan jiwa masyarakat dengan melakukan langkah nyata dalam melindungi jiwa rakyat dari bencana alam sebelum bencana alam itu terjadi.
Penulis adalah anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumut


dikutip dari  :
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=129042:mitigasi-banjir-bandang-pantai-barat-ii&catid=25:artikel&Itemid=44

Pentingnya Pemahaman REED+ di Tingkat Akar Rumput dan Pemangku Kepentingan

Meskipun saat ini kita sudah menjalani COP 15, dan Indonesia sedang disibukan dengan persiapan menuju REDD+ tapi ternyata di sisi lain banyak ketimpangan pemahaman yang muncul di masyarakat. Kesenjangan pemahaman tersebut tentu saja akan berpengaruh pada keterlibatan masyarakat kelak, ketika REDD+ siap di laksanakan.

Penyampaian informasi tentang REDD ataupun REDD+ memang erat kaitannya dengan metode penyampaian informasi, keengganan masyarakat dan birokrasi terhadap beberapa inisiatifadaptasi dan mitigasi yang dianggap terlalu rumit, serta ketiadaan suatu program pengembangan kapasitas yang membumi tentang REDD+.

Selain untuk memaparkan tetang studi pemetaan yang sudah di lakukan Center for People and Forest – RECOFTC Indonesia yang bekerja sama dengan GTZ Indonesiam sejak 2010 melaksanakan studi pemetaan dan kebutuhan untuk pengembangan kapasitas para pemangku kepentingan (stakeholders) di tingkat akar rumput tentang REDD+ di Indonesia pada tanggal 23 Juni 2010 yang lalu.

Hasil studi yang dipaparkan oleh Prof.Dr.Bustanul Arifin (aspek ekonomi sumber daya), Arif Wicaksono, Msc (aspek manajemen hutan) dan Haryanto Putro (aspek kelembagaan dan pengembangan kapasitas) tentang kebutuhan yang diperlukan untuk implementasi REDD+ termasuk gap pengetahuan yang ada di masyarakat, pemerintah lokal, lembaga pendamping (LSM) dan pemerintah pusat.

Ketimpangan pemahaman memang menjadi tantangan tersendiri, salah satunya dengan memberikan penjelasan yang lebih sederhana pada masyarakat. “Bahasa penyampaian untuk masyarakat memang harus lebih di sederhanakan, kita bisa menyampaikan bahwa masyarakat sebaiknya menjaga hutan dengan cara tidak menebang dan banyak menanam pohon supaya bisa menyerap karbon”, seperti yang dituturkan oleh Bustanul Arifin. Mengapa ini penting?

Permasalahan perubahan iklim memang tidak bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang singkat. Proses dan tahapan yang dilaksanakan pun akan memakan jangka waktu yang lama. “Apalagi, dalam jangka waktu 20 tahun kedepan bisa saja ada perubahan revolusioner dan tugas kita diawal ini menjaga kesepakatan untuk jangka panjang” tutur Haryanto Putro.

Konsultasi multipihak ini memang diharapkan mampu merumuskan segenap aspirasi dan persoalan di tingkat lapangan dan nasional dalam rangka pemetaan kebutuhan dan pengembangan kapasitas di tingkat akar rumput. Seperti yang dipaparkan oleh Mila Nuh, RECOFTC, “REDD, seperti tsunami, dan sekarang waktunya kita menghadapi ini bersama untuk membuat kesepakatan bersama, supaya kita bisa memiliki posisi negosiasi yang kuat dan tentu saja tidak merugikan bangsa dan masyarakat”. (dianing Kusumo – PILI NGO Movement)

source: 

 
http://redd-indonesia.org/feature-headline/detail/read/pentingnya-pemahaman-reed-di-tingkat-akar-rumput-dan-pemangku-kepentingan/ 


http://ceester.blogspot.com/2010/07/pentingnya-pemahaman-reed-di-tingkat.html
 

IKONOS (Satelite Space Imaging USA)

Ikonos adalah satelit milik Space Imaging (USA) yang diluncurkan bulan September 1999 dan menyediakan data untuk tujuan komersial pada awal 2000. Ikonos adalah satelit dengan resolusi spasial tinggi yang merekam data multispektral 4 kanal pada resolusi 4 m (citra berwarna) dan sebuah kanal pankromatik dengan resolusi 1 m (hitam-putih). Ini berarti Ikonos merupakan satelit komersial pertama yang dapat membuat image beresolusi tinggi. Dengan kedetilan/resolusi yg cukup tinggi ini membuat satelit ini akan menyaingi pembuatan foto udara. Lah iaya ngapain lagi pakai foto udara wong yang ini sudah cukup detil, bahkan kalau memetakan kota bekasi bisa dengan skala 1:5000 bahkan 1:2000 untuk desain tata ruang


 Dalam gambar sebelum kejadian terlihat lalulintas lancar jarak antar kendaraan mobil, bus dan truk cukup jauh. Nampak hijau tanaman padi. Pada gambar setelah di”tumbuhi” lumpur terlihat rona warna abu-abu, pabrik yg terkubur, serta jalan tol yang penuh sesak antri. Juga terlihat asal mengepul dari lokasi semburan.


Bagaimana perkembangan selanjutnya ?
Dibawah ini perkembangan tanggal 29 Agustus 2006 dan 16 September 2006.

Dengan melihat pesatnya perkembangan yang hanya selisih kurang dari satubulan saja sudah jelas bahwa lumpur ini menjadi tidak mudah dikendalikan di lokasi semburan. Jalan tol Porong jelas harus dipindahkan, dan barangkali juga jalan kereta api disebelah baratnya.

Saat ini debit sudah mencapai diatas 125 000 meterkubik sehari, dan sangat mungkin cenderung meningkat. Tentusaja mengalirkan airnya yang 70% ini saja sudah akan sangat menolong. Tetapi kita tahu pasti bahwa hal ini bukan berarti telah menyelesaikan seluruhnya, masih banyak yang harus dikerjakan, masih banyak yg perlu perhatian. Termasuk dampak lingkungan pembuangan air ini ke Sungai Porong.

Source /refrences: Images acquired and processed by CRISP, National University of Singapore IKONOS image © CRISP 2004

sumber :
http://rovicky.wordpress.com/2006/10/02/ngintip-perkembangan-porong-dengan-ikonos/
http://black-remotesensingandgis.blogspot.com/2010/07/ikonos.html




Jumat, 09 Juli 2010

Masyarakat Harus Terlibat Dalam Penataan Ruang

Masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama dalam pembangunan harus dilibatkan dalam penataan ruang. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 26/2007 tentang penataan ruang, khususnya pasal 60 dan 65 dimana masyarakat memiliki hak serta perlu dilibatkan dalam penataan ruang. Demikian disampaikan Direktur Penataan Ruang Wilayah III Wahyono Bintarto dalam Obrolan Tata Ruang Bersama Kementerian Pekerjaan Umum di Radio Trijaya FM Jakarta (7/7).

Bintarto menambahkan, masyarakat harus menyadari sendiri peran pentingnya dalam penataan ruang. Untuk mendukung kepedulian masyarakat tersebut, Pemerintah berkewajiban untuk melibatkannya dalam penataan ruang. Selain itu, banyak sarana yang telah dilakukan untuk melibatkan masyarakat dalam penataan ruang, diantaranya meliputi kegiatan Diskusi Kelompok Terpusat (Focused Group Discussion), seminar, penyuluhan, dan unit pengaduan bidang penataan ruang.

“Berbagai sarana tersebut telah menjadi suatu keharusan dalam penataan ruang, oleh karena itu menjadi suatu standar pelayanan minimal dalam penataan ruang untuk menyelenggarakan konsultasi masyarakat paling sedikit dua kali. Harapannya adalah bahwa masyarakat terlibat untuk menjadikan penataan ruang sebagai konsensus bersama,” tegas Bintarto.

Koordinator Nasional Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif Kasmita Widodo menjelaskan, dalam mewujudkan peran masyarakat dalam penataan ruang diperlukan adanya suatu media. Sedangkan konsensus adalah kesepakan semua pihak untuk mewujudkan pembangunan wilayah yang lebih efektif dan efisien. Proses pembangunan consensus ini merupakan suatu proses yang berat di awal, namun menjadi suatu modal mendasar dalam pembangunan dalam jangka panjang.

Di beberapa daerah, membangun peran masyarakat melalui media memang telah berjalan. Namun, masih terdapat beberapa hambatan untuk mengoptimalkan kualitas keterlibatan masyarakat ini. Kualitas keterlibatan masyarakat dalam penataan ruang dapat ditingkatkan di masa depan dengan pertama-tama melibatkan kelompok masyarakat yang memang memiliki kepahaman terhadap rencana tata ruang. Pada proses seterusnya perlu dilakukan suatu mekanisme agar terbentuk suatu proses pembentukan pemahaman masyarakat umum tentang penataan ruang, dengan penyadaran masyarakat terhadap peran mereka sebagai pelaku utama dalam penataan ruang, papar Kasmita.

Saat ini, sedang dilakukan percepatan penyusunan rencana tata ruang agar pembangunan daerah dapat berjalan secara terkoordinasi dan berkelanjutan. “Tentunya dalam proses percepatan ini dilakukan pula proses pelibatan masyarakat, sehingga implementasi rencana yang dihasilkan dapat diterapkan di lapangan secara konsisten,” tandas Bintarto. (cae/ibm)
 
dikutip dari : http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4915958777325236166
Copyright © Direktorat Jenderal Penataan Ruang - Departemen Pekerjaan Umum.


Publik Berhak Atas Pemanfaatan Ruang Dalam Bumi


Saat ini, tersedianya tanah bagi ruang kehidupan yang layak dan nyaman menjadi langka. Kondisi ini kian banyak menimbulkan konflik atas hak kepemilikan maupun nilai jualnya. Pada beberapa wilayah, Pemerintahnya seringkali menerapkan kebijakan pembangunan ke atas tanah (vertical development) maupun memanfaatkan ruang dalam bumi bagi kepentingan publik. Demikian disampaikan Direktur Penataan Ruang Nasional Iman Soedradjat dalam Focused Discusion Group Penyusunan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Dalam Bumi, pekan lalu di Jakarta.

Iman menambahkan, pelaksanaan kegiatan ini selain bertujuan untuk menghimpun masukan dalam merumuskan tipologi dan kriteria penggunaan ruang dalam bumi, juga sebagai forum penyamaan persepsi terkait perencanaan maupun penggunaan ruang dalam bumi. Harapannya, pedoman yang sedang disusun dapat menjadi referensi ataupun acuan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di masa mendatang.

Terkait penyusunan pedoman ini, selain studi literatur juga perlu dilakukan kajian terkait hukum dan regulasi, kondisi perencanaan, finansial, teknologi, dan lingkungan. Dalam kriteria yang disusun nantinya perlu dirumuskan pengaturan penggunaan lahan yang berbeda antara ruang di atas permukaan tanah dengan ruang dalam bumi yang ada dibawahnya, demikian pula dengan penggunaan lahan yang sama antara ruang di atas dan di dalam bumi. ”Kriteria yang disusun juga nantinya harus dapat membedakan antara kriteria ruang dengan kelayakan teknologi, khususnya terkait dengan pembangunan transportasi bawah tanah,” tegas Iman.

Secara garis besar komponen yang perlu diatur pada ruang dalam bumi mencakup transportasi, utilitas, bangunan gedung, dan pertambangan. Hanya saja persyaratan dan kriteria yang diatur cukup dari aspek ketataruangannya saja, dan tidak mengatur aspek teknis maupun sektoral, imbuh Kasubdit Pedoman Penataan Ruang Nasional, Cut Safana.


Ditambahkan oleh perwakilan dari Kementerian ESDM Aminuddin, ada beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan antara lain kelestarian lingkungan, koneksitas, sinkronisasi, keselamatan, kestabilan bangunan/konstruksi baik yang berada di atas maupun bawah permukaan tanah, integrasi, aksesibilitas, fungsi dan jenis kegiatan yang akan dikembangkan, serta peninggalan cagar budaya. Selain itu ditinjau dari aspek geologi dan hidrogeologi, yang perlu diperhatikan adalah sifat keteknikan tanah, arah aliran/pola arus air tanah, struktur geologi yang bersifat mikro, serta aspek kegempaan.

Dalam kegiatan ini juga mengemuka permasalahan hak atas tanah terhadap ruang dalam bumi. Hal ini muncul karena pada implementasinya banyak pengelola gedung yang membuat basemen melebihi Koefisien Dasar Bangunan (KDB) seharusnya, bahkan ada yang membangun basemen di bawah jalan atau ruang publik. Untuk itu timbul wacana jika pengaturan hak atas tanah sebaiknya tidak lagi dua dimensi, tapi tiga dimensi.

Merry Morfosa dari Pemda DKI Jakarta menambahkan, jika kepastian hak atas tanah di dalam bumi belum ada, daerah dapat mengeluarkan Perda atau Pergub sebagai dasar hukum bagi kegiatan maupun pembangunan di ruang dalam bumi. Masukan lain yaitu selain berisi kriteria penggunaan ruang dalam bumi, pedoman ini sebaiknya menambahkan aspek pengendalian pemanfaatan ruang khususnya pengembangan perangkat insentif dan disinsentif, kelembagaan, serta kerjasama antar stakeholder. (abr/ibm)
dikutip dari : http://www.penataanruang.net/detail_b.asp?id=1194

Copyright © Direktorat Jenderal Penataan Ruang - Departemen Pekerjaan Umum.




Penataan Ruang Jamin Keselamatan Masyarakat

“Penataan ruang yang tidak dilakukan secara konsisten dan bijaksana dapat berakibat timbulnya bencana alam maupun non alam yang mengancam keselamatan warga masyarakat,” ujar Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional Bambang Darmono dalam Rapat Kerja Terbatas tentang Penataan Ruang Wilayah Nasional yang Menjamin Keselamatan Warga Masyarakat di Jakarta (6/7).

Saat ini, banyak terdapat peraturan perundang-undangan dan kelembagaan yang mengatur penataan ruang. Namun seringkali masih ditemukan beberapa permasalahan yang meliputi penegakan hukum, kelembagaan, konflik kepentingan, dan kondisi sosial budaya masyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa fenomena seperti terjadinya bencana alam berupa banjir, tanah longsor akibat deforestasi yang tidak terkendali, degradasi kualitas lingkungan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) di hampir seluruh kota-kota besar, serta banyaknya bangunan di sekitar bandara yang membahayakan keselamatan operasional penerbangan dan warga masyarakat, papar Bambang.

Kepala Bagian Hukum Setditjen Penataan Ruang Dadang Rukmana mengungkapkan, masih banyak permasalahan-permasalahan penataan ruang selain yang disebutkan di atas. Antara lain penyusunan rencana tata ruang yang memakan waktu lama sehingga pada saat ditetapkan sudah berbeda dengan kondisi eksisting. Selain itu, permasalahan adalah tidak tersosialisasikannya penataan ruang dengan baik kepada pemangku kepentingan dan masyarakat.
 

Dadang menambahkan, penyelenggaraan penataan ruang sendiri bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Terkait penyelenggaraannya harus memperhatikan keharmonisan lingkungan, keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan yang memperhatikan sumber daya manusia, perlindungan fungsi ruang serta pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Selain itu penataan ruang juga harus berbasis mitigasi bencana sebagai upaya dalam meningkatan keselamatan dan kenyamanan hidup dengan pengaturan zonasi yang baik.

Rapat kerja terbatas ini turut dihadiri oleh Kementerian dari sektor terkait, akademisi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

“Dengan diadakannya rapat kerja terbatas ini, diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi untuk selanjutnya diserahkan kepada Presiden terkait bagaimana menyelenggarakan penataan ruang yang menjamin keselamatan warga,” tegas Bambang. (pa/ibm)
 
dikutip dari :
 
    
Copyright © Direktorat Jenderal Penataan Ruang - Departemen Pekerjaan Umum.
Gedung Baru Lt.3 Jl. Pattimura No. 20 Keb. Baru Jakarta Selatan 12110, 
Telepon/Fax : 021-7267762, 
email: admditpr@pu.go.id. 
All rights reserved. v4.0 # 
2004 - 2010

Struktur Sungai

Struktur Sungai

POLA RUANG SUMATERA

POLA RUANG SUMATERA

Kec. Jambi Selatan - Kota Jambi

Kec. Jambi Selatan - Kota Jambi

BERHALE ISLAND

Pulau Berhala
Large selection of World Maps at stepmap.com
StepMap Pulau Berhala


ISI IDRISI TAIGA

ISI IDRISI TAIGA

HOW TO GOIN ON BERHALE ISLAND

Kota Jambi

Desa Batu Kerbau - Kab. Bungo

Desa Batu Kerbau - Kab. Bungo

TERAKHIR DI UPDATE GOOGLE

COMMUNICATE

+62 812731537 01