Selasa, 01 Mei 2012

Mencermati Kegagalan Tata Ruang

Sepertinya adalah suatu hal yang cukup nyata terlihat bahwa tata ruang di berbagai wilayah dan kota di Indonesia saat ini, termasuk di kota Medan, begitu buruknya. Rencana penataan ruang yang dibuat telah gagal mengarahkan pembangunan agar dapat memberikan manfaat optimal bagi masyarakat yang hidup di dalamnya.

Terkait permasalahan ini, upaya Wali Kota Medan beberapa waktu lalu untuk meninjau secara langsung dari udara kesemrawutan arah perkembangan pembangunan kota yang kemudian memunculkan komitmen menertibkan kembali pembangunan agar sesuai RTRW kota terbaru, adalah hal yang patut dihargai.

Namun penyelesaian persoalan tata ruang di Indonesia pada umumnya dan kota Medan khususnya tidak hanya terletak pada lekatnya pengawasan pemerintah untuk memastikan pelaksanaan rencana penataan ruang.

Karena permasalahan yang lebih imperatif bisa jadi justru terletak pada isi rencana yang tidak dapat mengatasi konflik pemanfaatan ruang yang tersedia. Bahkan justru menambah konflik pemanfaatan ruang di dalam wilayah tersebut. Di samping itu, kurangnya transparansi dan akses publik dalam proses penyusunan rencana tata ruang juga sering kali ikut menambah buruknya persoalan penataan ruang.

Kesalahan pemerintah (?)
Atas berbagai persoalan terkait penataan ruang, pemerintah adalah pihak yang paling empuk untuk dijadikan sasaran disalahkan. Hal ini wajar karena sebagian besar urusan penataan ruang sangat terkait urusan publik, yang tentunya merupakan kewajiban pemerintahlah untuk melaksanakannya.

Di samping itu, proses perencanaan kota dan wilayah sendiri dalam prakteknya dapat diartikan sebagai bentuk intervensi pemerintah mewujudkan ambisi pembangunannya. Lebih jauh lagi, upaya melegalisasi rencana penataan ruang kota dan wilayah di Indonesia selalu dilakukan melalui bentuk peraturan resmi yang dikeluarkan pemerintah, baik nasional atau daerah. Sehingga rencana dan penerapannya pada akhirnya dapat dilihat sebagai produk dan tanggung jawab pemerintah.

Selanjutnya, pemerintah jugalah yang bertanggungjawab pemberian izin (pem)bangunan untuk menjamin pembangunan sesuai arahan rencana penataan ruang juga dalam pengawasan untuk menjamin agar pembangunan sesuai izin.

Sementara, pihak-pihak yang terjun langsung dalam penyusunan rencana tata ruang, yaitu mereka yang disebut ahli perencanaan wilayah dan kota (planner) meskipun pada umumnya bekerja pada dan/atau untuk pemerintah, seringkali memberi kesan seolah mereka memiliki jarak dengan pemerintah terutama dalam implementasi rencana yang dibuatnya.

Sehingga ketika suatu produk rencana ternyata justru malah menimbulkan masalah atau konflik dalam pelaksanaannya sehingga penataan ruang tidak dapat terlaksana dengan baik. Maka para ahli tersebut pun banyak yang ikut mengarahkan jari telunjuknya pada pemerintah.

Penyusunan rencana dan implementasinya
Secara normatif, sebuah rencana tata ruang selalu diarahkan untuk memberikan kerangka pemanfaatan ruang menyeluruh, yang di dalamnya, berbagai aktivitas pembangunan, baik yang dilakukan publik maupun swasta, dapat berlangsung dengan baik.

Dalam pelaksanaannya, berbagai strategi pemanfaatan ruang yang diwujudkan dalam bentuk struktur kota atau wilayah, dipercaya akan dapat mewujudkan tiga hal sekaligus, yaitu efisiensi ekonomi, kesejahteraan sosial, dan perlindungan ekosistem alam.

Para ahli perencana ruang (baik secara sadar ataupun tidak) sangat percaya bahwa implementasi dari rencana tata ruang akan terjadi secara alamiah ketika di dalam sebuah rencana tata ruang terdapat hal-hal yang dapat digunakan sebagai instruksi yang jelas bagi sektor publik untuk menempatkan investasinya serta arahan yang tegas bagi sektor swasta untuk dapat melokasikan aktivitasnya.

Dalam hal ini yang dibutuhkan hanyalah kesungguhan dari (lagi-lagi) pemerintah untuk mengawal pelaksanaan rencana tata ruang tersebut serta ketaatan sektor swasta (terutama pengembang atau developer) terhadap arahan lokasi pembangunan yang ditetapkan.

Namun ada beberapa kenyataan yang mungkin dilupakan, entah dengan sengaja ataupun tidak, oleh para ahli perencana kota dan wilayah ketika menyusun sebuah rencana tata ruang meski (seharusnya) kenyataan tersebut sangat disadari keberadaannya oleh mereka.

Adalah kenyataan bahwa perencana tidak pernah bekerja dalam ruang netral dan bebas nilai dimana setiap pihak yang terkait dapat tertampung aspirasinya dengan baik dalam sebuah produk rencana tata ruang. Di samping itu, perencana dan rencana yang dihasilkannya tentunya tidak akan pernah dan tidak mungkin bisa lepas dari isu politik, ekonomi dan sosial.

Sehingga setiap pendekatan digunakan, meski terlihat sangat teknis dan rasional sekalipun, dapat saja disambut dengan baik suatu pihak namun ditolak pihak lain atas pertimbangan dari berbagai isu tersebut.

Terkait hal itu, tak dapat disangkal lagi bahwa pihak swasta, terutama investor, pengusaha, dan pengembang properti memiliki kekuatan cukup dominan membentuk “wajah” kota dan wilayah, yaitu modal. Di lain pihak, masyarakat umum juga memiliki kepentingan juga kekuatan yang sangat besar dalam untuk menentukan arah pembangunan, yaitu massa, yang dapat digunakan menolak produk rencana terutama ketika tidak sesuai harapan mereka.

Dengan adanya berbagai kenyataan ini, maka pemahaman terhadap dinamika politik, ekonomi dan pasar, juga sosial dan budaya masyarakat menjadi keharusan dalam upaya penyusunan sebuah rencana tata ruang. Dan ketika pemahaman itu tidak ada ataupun tidak tercermin dengan nyata dalam rencana penataan ruang dan proses penyusunanya, maka akan sangat sulit menjalankan perannya sebagai alat mengawal jalannya pembangunan.

Tantangan bagi para ahli
Para ahli perencana wilayah dan kota tidak dapat lagi menganggap proses perencanaan tata ruang dapat semata dilakukan dengan pendekatan bersifat teknokratis. Di samping itu, para ahli perencana wilayah dan kota juga tidak dapat lagi menjadikan implementasi dari rencana tata ruang sebagai sesuatu yang berada di luar tanggung jawabnya.

Perencana wilayah dan kota harus dapat menyadari bahwa perencanaan tata ruang adalah sebuah proses komunikasi dan negosiasi yang berketerusan antar berbagai pihak yang terlibat dalam pemanfaatan ruang. Terutama tiga yang disebutkan sebelumnya, yaitu: pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Hasil komunikasi dan negosiasi tersebut tidak hanya menentukan apa yang seharusnya terkandung dalam suatu rencana tata ruang tapi juga bagaimana suatu rencana dapat dilaksanakan serta apa saja yang diperlukan dan dapat dilakukan untuk melaksanakannya.

Karena itu, sebuah rencana tata ruang pada akhirnya adalah suatu bentuk harmonisasi dari daya dukung pihak-pihak tadi dengan daya dukung fisik ruang yang ada. Dan ketika para perencana hanya mampu memahami dan mengakomodasi daya dukung fisik ruang secara teknis tanpa mampu memperhitungkan daya dukung pihak-pihak tersebut. Maka wajar saja apabila sebuah rencana akan sulit diwujudkan atau hanya mampu dijadikan sebagai penambah isi rak buku.

(Ary A. Samsura : Penulis adalah Staf Peneliti Radboud University Nijmegen, Belanda, Saat Ini Sedang Melakukan Studi Doktoral Di Tempat Yang Sama Untuk Bidang Manajemen Pemanfaatan Ruang Kota (Urban Land-Use Management).

Sumber : Waspada News

Tidak ada komentar:

Alfin SH dan Azhar Hamzah: Memajukan Desa di Sungai Penuh melalui Implementasi Pedoman Pembangunan Desa dan SDGs

Sungai Penuh - Alfin SH dan Azhar Hamzah, calon walikota dan wakil walikota Sungai Penuh, berkomitmen memajukan desa-desa di wilayahnya deng...

Struktur Sungai

Struktur Sungai

POLA RUANG SUMATERA

POLA RUANG SUMATERA

Kec. Jambi Selatan - Kota Jambi

Kec. Jambi Selatan - Kota Jambi

BERHALE ISLAND

Pulau Berhala
Large selection of World Maps at stepmap.com
StepMap Pulau Berhala


ISI IDRISI TAIGA

ISI IDRISI TAIGA

HOW TO GOIN ON BERHALE ISLAND

Kota Jambi

Desa Batu Kerbau - Kab. Bungo

Desa Batu Kerbau - Kab. Bungo

TERAKHIR DI UPDATE GOOGLE

COMMUNICATE

+62 812731537 01