Oleh : Pedi Natasuwarna Pada tahun 2010 ini sudahlah genap 15 tahun jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalbar yang ditetepkan dengan Perda no. 1 tahun 1995 berdasarkan Undang Undang no. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Oleh karena Perda tersebut berlaku selama 15 tahun, maka sudah berahir pula berlakunya RTRWP Kalbar yang pertama.Menyongsong disusunnya RTRWP Kalbar yang kedua untuk tahun 2011-2030, maka perlu diadakan evaluasi terhadap pencapaian RTRWP yang pertama itu apakah tepat sasaran atau ada penyimpangan-penyimpangan untuk dijadikan umpan balik (feedback) bagi penyusunan RTRWP yang kedua. RTRWP yang kedua ini dibuat berdasarkan Undang Undang no. 26 tahun 2007 dan akan menjadi Perda yang baru. Penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif dan partisipatif sesuai undang undang dimaksudkan agar terwujud ruang yang aman, produktif dan berkelanjutan. Oleh karena itu perlu disebarluaskan pengertian agar masyarakat turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan tata ruang ini. Selama periode 1995-2010, tidak ada revisi terhadap RTRWP Kalbar, karena tida ada kebijakan yang berubah. Yang ada adalah beberapa penyimpangan yang terjadi di lapangan diantaranya seperti pembalakan liar pada kawasan konservasi, penebangan hutan bakau pada wilayah pesisir, banyaknya pertambangan emas tanpa izin (peti) sepanjang sungai yang merusak lingkungan dan pemberian izin kepada perkebunan di wilayah bergambut setebal lebih dari 3 meter. Penyimpangan-penyimpangan itu perlu dipetakan, Perlu pula diinventarisir luas lahan kritis yang hanya bisa tumbuh pada ilalang (/mperata cy//ndrica) baik pada kawasan lindung maupun pada kawasan budi daya. Kebiasaan penduduk di pedalaman yang masih berladang berpindah (shifting cultivation) berangsur-angsur perlu diubah menjadi bertani secara menetap (permanenf farming). Berladang berpindah yang menjadi tradisi masyarakat pedalaman adalah cara bercocok tanam yang masih primitif dengan membakar hutan, memanfaatkan kesuburan tanah dari lapisan humus, yang kemudian tergerus pada waktu terbukanya lahan sehingga kesuburannya hilang. Lahan tersebut hanya dapat digarap selama satu atau dua tahun, kemudian pada tahun berikutnya pindah mencari lahan baru yang masih berupa hutan. Demikian seterusnya berpindah-pindah dari satu lahan ke lahan lain sampai kemudian kembali ke lahan semula setelah lahan tersebut memulihkan kesuburannya menjadi hutan kembali. Masa lahan tersebut memulihkan kesuburannya berlangsung selama 12 tahun atau lebih dan disebut sikius rota = si atau masa bera. Bilamana petani kembali ke lahan semula kurang dari 12 tahun akan terjadi penurunan kesuburan tanah. Ada yang kembali hanya setelah 5 tahun, sehingga dapat menjadi lahan-lahan kritis yang hanya dapat ditumbuhi ilalang. Oleh karena itu perlu tradisi ini diubah menjadi pertanian menetap dengan menempati sawah ber-irigasi atau sawah tadah hujan. Sektor perkebunan dapat menampung merekrap sebagai peserta plasma atau bermitra dengan perkebunan besar, seperti karet, kelapa sawit atau lada. Program resetelmen dari Dept Sosial yang sudah berlangsung sejak tahun 1980 banyak membantu masyarakat pedalaman mengubah kebiasaan ini. Lahan-lahan kritis dapat dihutankan kembali melalui program reboisasi, penanaman Hutan Tanaman Industri (HTI) atau Hutan Tanaman Rakyat. Cagar alam dan Hutan Lindung Betung Karihun seluas 800.000 hektar di kabupaten Kapuas Hulu dapat disatukan dengan hutan Lanjak Entimau seluas 200.000 hektar di Serawak menjadi luas satu juta hektar merupakan potensi yang besar untuk menjadi hutan wisata. Inilah yang merupakan "heart of Bomeo", yang dapat menarik wisatawan internasional, dapat menjadi saingan hutan Amazone di Brazil. Kegiatan ini sudah dimulai di Serawak dengan dibangunnya hotel berbintang di Batang Ai Lubuk Antu. Pintu masuk Na Badau dapat merupakan penghubung kedua wilayah ini. Taman Nasional Danau Sentarum perlu dipertahankan sebagai kawasan konservasi, tempat penyimpanan air diwaktu musim hujan, juga sebagai pengendali banjir dan pengisi air sungai Kapuas pada waktu musim kering. Danau-danau ini menjadi pusat perikanan darat di Kalbar. Dari sinilah asal usul ikan arwana super red. Disini juga tempat berkembangnya lebah madu yang menjadi primadona penghasilan masyarakat setempat. Danau-danau ini juga dapat menjadi kawasan wisata yang khas dengan pemandangannya yang indah. Selanjutnya Kab. Kapuas Hulu menjadi pusat eco-tourism untuk Kalbar. Taman Nasional Gunung Niyut. Konon gunung ini dulunya adalah gunun berapi, sehingga tanah disekitarnya menjadi subur karena buangan magma pada saat letusan terjadi. Tanah latosol dengan luas 140.000 hektar sangat subur untuk tanaman jagung, dapat merupakan sentra jagung untuk Kalbar dengan pusatnya di Sanggau Ledo; Taman Nasional Gunung Palung yang sudah mulai rusak, hendaknya dievaluasi sampai dimana kerusakannya. Pernah menjadi tempat penelitian Universitas Harvard, mengandung species orang hutan yang sudah mulai langka. Kawasan bergambut, yang tertua ada di Kab. Kubu Raya. Perlu dipetakan lahan gambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi, sehingga yang lainnya dengan ketebalan kurang dari itu sebagai kawasan budi daya yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budi daya, apakah untuk perkebunan atau untuk pertanian tanaman pangan. Izin-izin yang telah diterbitkan perlu diteliti kembali apakah termasuk kawasan konservasi atau bukan. Tanah gambut dapat juga digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit tenaga listrik seperti di Finlandia. Hutan bakau yang tersisa yang ada di Kab. Kubu Raya banyak yang dirambah menjadi tambak-tambak ikan. Perlu diinventarisir sampai dimana kerusakannya. Hutan bakau sebagai kawasan penyangga perlu dipelihara sebagai tempat berkembang biaknya biota laut dan juga pencegah terjadinya abrasi pantai. Untuk kawasan hutan produksi yang sudah menjadi lahan kritis perlu digiatkan reboisasi atau hutan tanaman, antara lain Hutan Tanaman Industri. Di Kalbar investor yang bergerak dibidang ini adalah PT Finantara Intiga dari Sinar Mas group yang berusaha memperluas areal tanamannya sampai menjadi 600.000 hektar untuk dapat dibangun pabrik pulp sebagai bahan baku kertas. Saat ini mereka mengirim hasilnya ke Riau ke pabrik pulp yang ada disana. Hambatan pengembangannya adalah dengan penduduk setempat mengenai masalah lahan. Seyogyanya masyarakat setempat dapat diikutsertakan sebagai mitra peserta plasma. Sektor perkebunan, potensi yang besar perkebunan kelapa sawit dan karet dapat dikembangkan dengan kemitraan, menjadikan penduduk setempat sebagai peserta plasma sehingga dapat mensejahterakan masyarakat setempat. Hasil-hasil CPO (crude palm oil} yang dijual ke luar negeri memerlukan pelabuhan internasional dibangun di Kalbar. Untuk itu hendaknya sudah ditetapkan lokasinya apakah di Temajo atau di Tanjung Gondol dengan jadwal pembangunan yang juga sudah ditentukan. Sektor Pertambangan dan Energi. Yang menonjol adalah deposit bauksit di Tayan. Kawasan Tayan di Kab. Sanggau dapat merupakan kawasan industri alumina dan dapat dikembangkan menjadi kawasan andalan di Kalbar. Untuk itu perlu disiapkan penyediaan tenaga listrik yang besar. Potensi air terjun di Pinoh dengan kapasitas 150 MW dapat menjadi sumber energi bagi kawasan industri ini. Potensi bauxiet di Tayan adalah sebesar 1,5 juta metric ton dan sudah disurvey oleh perushaan Alcoa dari Amerika selama 5 tahun. Saat ini potensi ini digarap oleh PT Aneka Tambang. Pembangunan jembatan Tayan perlu untuk menunjang pengembangan kawasan ini. Untuk tambang batu bara yang tersebar di Kalbar, yang terbesar adalah di gunung Silatek pada perbatasan antar Kalbar Serawak di Kab. Sintang. Karena letaknya jauh dari prasaran yang ada, maka kawasan ini belum digarap sama sekali. Pada bagian lain didaerah Serawak sudah digarap pertambangan ini dengan kerjasama dengan pihak Jepang. Bahan tambang Uranium terdapat di Kecamatan Ella Hilar Kab. Melawi. Depositnya tidak banyak, hanya dapat menyediakan bahan untuk PLTN selama 2 tahun. Sektor Perhubungan. Jalan Trans Kalimantan yang merupakan kesepakatan 4 Gubernur di Kalimantan perlu ditetapkan jadwal pelaksanaannya. Poros Selatan: Pontianak-Tayan-Piasak-Balai Bekuak-Aur Kuning-Sandai-Na.Tayap masuk ke Kalteng melalui Kudangan ke Pangkalanbun. Sedang poros Tengah melalui Kab. Melawi dari Pinoh, Na Ella masuk ke Kaltertf melalui Tumbang Kemurai. Jalan paralel perbatasan antara Paloh samai ke Benua Martinus melalui Aruk (Sajingan), Jagoi Babang, Entikong, Jasa, Badau, Lanjak sampai ke Benua Martinus perlu pula jadwal pelaksanaannya. Pelabuhan internasional perlu segera ditentukan lokasinya apakah di Temajo atau Tanjung Gondol perlu disiapkan jadwal pembangunannya, baik perencanaan maupun pelaksanaannya. Sistem perkotaan. Dengan terbentuknya kabupaten baru hasil pemekaran, maka ada ibukota Kabupaten yang perlu ditetapkan lokasinya. Untuk Kabupaten Kubu Raya ada yang mengusulkan di Sukalanting yang merupakan pertemuan sungai Kapuas Kecil dengan Kapuas Besar. Yang sekarang ada di Sungai Raya dianggap terlalu dekat dengan Bandara Supadio sehingga tidak bebas membangun bangunan tinggi yang dapat menimbulkan kecelakaan, seperti contoh di Medan. Demikianlah sekadar masukan untuk bahan penyusunan RTRWP Kalbar tahun 2011-2030. Kesimpulan dan Saran Evaluasi terhadap RTRWP Kalbar 1995-2010 sesuai dengan Perda Kalbar no 1 tahun 1995 pertu ditakukan dengan peta-peta yang akurat. Terutama menginventarisir keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai dan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Untuk kawasan gambut di Kab. Kubu Raya perlu pemetaan tanah gambut dengan ketebalannya sehingga dapat ditentukan mana yang merupakan kawasan lindung mana kawasan budi daya. Terjadinya pelanggaran terhadap pemanfaatan lahan gambut ini dapat dikenakan sanksi sesuai pasal 62 UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, baik bagi Pemberi izin maupun maupun masyarakat yang melanggar ketentuan tersebut. Untuk jalan trans Kalimantan perlu ditetapkan target periode penyelesaiannya, terutama ruas-ruas jalan yang berada di kawasan andalan, Untuk pelabuhan intemasional apakah di Temajo atau di Tanjung Gondol. Juga diperlukan penentuan target pembangunannya baik perencanaan mapun pelaksanaannya. ** * Penulis, mantan Ketua Bappeda Kalbar. |
Selasa, 20 Juli 2010
Rencana Tata Ruang Kalbar 2011-2030
Simalakama Tata Ruang Aceh
SALAH satu upaya untuk memperbaiki pembangunan Aceh di masa akan datang dilakukan melalui penyusunan Rencana Tata Ruang Aceh (RTRW). Rencana tata ruang ini ditetapkan dengan qanun sehingga menjadi dasar hukum baik untuk eksekutif, legistatif maupun yudikatif. Penetapan dengan qanun ini menjadi pedoman dalam penetapan, evaluasi pola dan struktur ruang maupun pemanfaatan ruang Aceh sesuai peruntukannya. Pemerintah Aceh mempunyai peran dan kewenangan sangat besar untuk penyusunan RTRW Aceh ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2010 yang memberikan kewenangan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah di provinsi.
Isu RTRW Aceh menjadi sangat krusial, karena akan menentukan Aceh masa depan, apalagi jika dikaitkan dengan batas waktu penyelesaian paling lambat akhir Oktober 2010. Jika hal tersebut belum ditetapkan dalam suatu qanun, maka dikhawatirkan Aceh akan menggunakan RTRW atau TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) lama. Masih banyak persoalan dan teka-teki yang belum terjawab antara lain terkait dengan masyarakat yang mendiami kawasan hutan, tata kelola hutan mukim, jaminan penyediaan lahan agar tidak timbul konflik baru, kawasan penyangga (buffer zone) pada wilayah rawan bencana dan lain-lain.
RTRW Aceh ini harus menjadi pedoman dalam penyusunan produk-produk perencanaan lainnya termasuk Penyusunan Rencana Jangka Panjang (RPJP) Aceh 2010-2025. Semua dokumen tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan, sehingga pembangunan yang dijalankan sesuai dengan ruang dan peruntukannya untuk Aceh jangka panjang. Persoalan selama ini, pembangunan Aceh tidak didasarkan pada suatu perencanaan jangka panjang yang terintegrasi dan bersifat strategis atas dasar hasil kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan keberlangsunganya untuk generasi Aceh akan datang.
Karena itu dalam penyusunan RTRW Aceh ini harus benar-benar dapat mengakomudasi kepentingan Aceh secara keseluruhan untuk jangka panjang dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable principle). Prinsip-prinsip ini akan mendorong pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bukan hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi akan datang.
Demikian juga dengan pemanfaatan kawasan lindung harus menganut prinsip-prinsip konservasi melalui pemanfaatan, pengawetan dan upaya untuk mempertahankan flora dan fauna yang terancam punah dan dilindungi. Kawasan lindung ini bukan berarti tidak bisa dikelola secara ekonomis, justru di negara-negara maju pemanfaatan jasa konservasi ini memberikan nilai pendapatan dan peluang usaha bagi negara apabila dikelola secara serius dan profesional seperti yang ditunjukkan Korea Selatan dengan Taman Nasional Seoraksan maupun sejumlah kebun raya lainnya.
Kawasan budidaya perlu dicadangkan sebagai lahan usaha masyarakat melalui pemanfaatan hutan produksi, Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun dengan memproduksi Hutan Tanaman Rakyat lainnya. Areal Penggunaan Lain (APL) dapat dipergunakan untuk kepentingan usaha perkebunan yang dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Penyusunan RTRW Aceh harus berbasis pada kearifan lokal/adat yang dimiliki masyarakat setempat. Pada masyarakat tempo dulu sudah dikenal pengelolaan hutan berbasis mukim (hutan mukim) sebagai level pemerintah terendah di Aceh. Hutan Mukim di bawah daulat imuem mukim ini harus dibangkitkan kembali eksistensinya, demikian juga dengan peran pawang uteun. Pada sejumlah negara maju justru 75% pengelolaan hutan dikembalikan kepada masyarakat dengan insentif yang diberikan negara, sehingga masyarakat ikut terlibat aktif memelihara dan mengelola hutan, tidak seperti Indonesia, khususnya Aceh yang selama ini dikelola pihak swasta dan negara yang membiarkan lahan-lahan subur terlantar dan bahkan akibatnya kebijakannya membawa bencana bagi masyarakatnya seperti banjir bandang dan tanah longsor. Persoalan lain menyangkut daerah kosong (enclave) masyarakat dalam kawasan konservasi seperti pada Kawasan Ekosistem Leuser.
Masyarakat dalam kawasan konservasi ini harus dapat berperan sebagainya penyangga kawasan hutan, bukan sebagai perusak seperti yang diasumsikan banyak pihak selama ini. Perubahan paradigma untuk menerapkan masyarakat lokal/adat sebagai bagian dari ekosistem harus didorong, supaya upaya penguatan kesejahteraan masyarakat di satu sisi dan pelestarian ekosistem di sisi lain dapat berjalan bersama-sama
Pada saat ini para pelaku pembangunan di Aceh (SKPA, DPRA, pemerintah kabupaten/kota, CSO dan masyarakat sipil lainnya) belum satu visi merumuskan persoalan tersebut ke dalam RTRW Aceh. Hal tersebut dapat dilihat dari keinginan Tim Sekretariat Aceh Green untuk menambah kawasan hutan lindung sekitar 600 ribu Ha. Sementara di sisi lain SKPA dan pemerintah kabupaten/kota mengusulkan areal konversi cukup luas untuk penggunaan lain dalam rangka menunjang kesejahteraan rakyatnya.
Karena persoalan-persoalan tersebut di atas, diyakini nanti pasca-penetapan RTRW Aceh ada sejumlah konflik pemanfaatan ruang akan menghadang Aceh, banyak para pihak dan komunitas masyarakat dalam kawasan hutan akan berhadapan dengan penegakan hukum karena dicap sebagai perambah hutan dan penguasaan lahan bertentangan dengan hukum. Bahkan tidak menutup kemungkinan institusi negara yang mengawal proses penetapan RTRW Aceh akan dituntut oleh masyarakat yang merasa dirugikan atas kebijakan penetapan tata ruang karena masyarakat setempat sudah tinggal di dalam kawasan hutan selama puluhan tahun.
Penyelesaian konflik ini dapat dilakukan sambil berjalan melalui pendekatan-pendekatan pemindahan (resetlemen) masyarakat dari kawasan hutan atau deregulasi sistem pengelolaan hutan. Tetapi lagi-lagi ini dihadapkan pada kesulitan untuk penyediaan lahan, kalaupun ada harus melalui kompensasi sehingga menyedot banyak dana, energi, pikiran dan waktu. Kasus seperti ini pernah terjadi di Aceh, di mana masyarakat tidak mau pindah walaupun sudah terjadi bencana seperti pada masyarakat sekitar pantai yang terkena tsunami atau masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser yang terkena banjir bandang.
Melihat persoalan di atas, seluruh komponen Aceh harus menyatukan visi dan melihat Aceh secara jernih untuk jangka panjang. Materi RTRW Aceh harus menjadi pedoman semua pihak untuk pemanfaatan ruang/tapak Aceh serta memberikan perlindungan terhadap semua kepentingan masyarakat, termasuk mengantisipasi sebagai daerah rawan bencana, semoga.
* Penulis (keduanya) adalah pemerhati pembangunan dan Lingkungan, berdomisili di Banda Aceh
Isu RTRW Aceh menjadi sangat krusial, karena akan menentukan Aceh masa depan, apalagi jika dikaitkan dengan batas waktu penyelesaian paling lambat akhir Oktober 2010. Jika hal tersebut belum ditetapkan dalam suatu qanun, maka dikhawatirkan Aceh akan menggunakan RTRW atau TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) lama. Masih banyak persoalan dan teka-teki yang belum terjawab antara lain terkait dengan masyarakat yang mendiami kawasan hutan, tata kelola hutan mukim, jaminan penyediaan lahan agar tidak timbul konflik baru, kawasan penyangga (buffer zone) pada wilayah rawan bencana dan lain-lain.
RTRW Aceh ini harus menjadi pedoman dalam penyusunan produk-produk perencanaan lainnya termasuk Penyusunan Rencana Jangka Panjang (RPJP) Aceh 2010-2025. Semua dokumen tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan, sehingga pembangunan yang dijalankan sesuai dengan ruang dan peruntukannya untuk Aceh jangka panjang. Persoalan selama ini, pembangunan Aceh tidak didasarkan pada suatu perencanaan jangka panjang yang terintegrasi dan bersifat strategis atas dasar hasil kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan keberlangsunganya untuk generasi Aceh akan datang.
Karena itu dalam penyusunan RTRW Aceh ini harus benar-benar dapat mengakomudasi kepentingan Aceh secara keseluruhan untuk jangka panjang dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable principle). Prinsip-prinsip ini akan mendorong pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bukan hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi akan datang.
Demikian juga dengan pemanfaatan kawasan lindung harus menganut prinsip-prinsip konservasi melalui pemanfaatan, pengawetan dan upaya untuk mempertahankan flora dan fauna yang terancam punah dan dilindungi. Kawasan lindung ini bukan berarti tidak bisa dikelola secara ekonomis, justru di negara-negara maju pemanfaatan jasa konservasi ini memberikan nilai pendapatan dan peluang usaha bagi negara apabila dikelola secara serius dan profesional seperti yang ditunjukkan Korea Selatan dengan Taman Nasional Seoraksan maupun sejumlah kebun raya lainnya.
Kawasan budidaya perlu dicadangkan sebagai lahan usaha masyarakat melalui pemanfaatan hutan produksi, Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun dengan memproduksi Hutan Tanaman Rakyat lainnya. Areal Penggunaan Lain (APL) dapat dipergunakan untuk kepentingan usaha perkebunan yang dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Penyusunan RTRW Aceh harus berbasis pada kearifan lokal/adat yang dimiliki masyarakat setempat. Pada masyarakat tempo dulu sudah dikenal pengelolaan hutan berbasis mukim (hutan mukim) sebagai level pemerintah terendah di Aceh. Hutan Mukim di bawah daulat imuem mukim ini harus dibangkitkan kembali eksistensinya, demikian juga dengan peran pawang uteun. Pada sejumlah negara maju justru 75% pengelolaan hutan dikembalikan kepada masyarakat dengan insentif yang diberikan negara, sehingga masyarakat ikut terlibat aktif memelihara dan mengelola hutan, tidak seperti Indonesia, khususnya Aceh yang selama ini dikelola pihak swasta dan negara yang membiarkan lahan-lahan subur terlantar dan bahkan akibatnya kebijakannya membawa bencana bagi masyarakatnya seperti banjir bandang dan tanah longsor. Persoalan lain menyangkut daerah kosong (enclave) masyarakat dalam kawasan konservasi seperti pada Kawasan Ekosistem Leuser.
Masyarakat dalam kawasan konservasi ini harus dapat berperan sebagainya penyangga kawasan hutan, bukan sebagai perusak seperti yang diasumsikan banyak pihak selama ini. Perubahan paradigma untuk menerapkan masyarakat lokal/adat sebagai bagian dari ekosistem harus didorong, supaya upaya penguatan kesejahteraan masyarakat di satu sisi dan pelestarian ekosistem di sisi lain dapat berjalan bersama-sama
Pada saat ini para pelaku pembangunan di Aceh (SKPA, DPRA, pemerintah kabupaten/kota, CSO dan masyarakat sipil lainnya) belum satu visi merumuskan persoalan tersebut ke dalam RTRW Aceh. Hal tersebut dapat dilihat dari keinginan Tim Sekretariat Aceh Green untuk menambah kawasan hutan lindung sekitar 600 ribu Ha. Sementara di sisi lain SKPA dan pemerintah kabupaten/kota mengusulkan areal konversi cukup luas untuk penggunaan lain dalam rangka menunjang kesejahteraan rakyatnya.
Karena persoalan-persoalan tersebut di atas, diyakini nanti pasca-penetapan RTRW Aceh ada sejumlah konflik pemanfaatan ruang akan menghadang Aceh, banyak para pihak dan komunitas masyarakat dalam kawasan hutan akan berhadapan dengan penegakan hukum karena dicap sebagai perambah hutan dan penguasaan lahan bertentangan dengan hukum. Bahkan tidak menutup kemungkinan institusi negara yang mengawal proses penetapan RTRW Aceh akan dituntut oleh masyarakat yang merasa dirugikan atas kebijakan penetapan tata ruang karena masyarakat setempat sudah tinggal di dalam kawasan hutan selama puluhan tahun.
Penyelesaian konflik ini dapat dilakukan sambil berjalan melalui pendekatan-pendekatan pemindahan (resetlemen) masyarakat dari kawasan hutan atau deregulasi sistem pengelolaan hutan. Tetapi lagi-lagi ini dihadapkan pada kesulitan untuk penyediaan lahan, kalaupun ada harus melalui kompensasi sehingga menyedot banyak dana, energi, pikiran dan waktu. Kasus seperti ini pernah terjadi di Aceh, di mana masyarakat tidak mau pindah walaupun sudah terjadi bencana seperti pada masyarakat sekitar pantai yang terkena tsunami atau masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser yang terkena banjir bandang.
Melihat persoalan di atas, seluruh komponen Aceh harus menyatukan visi dan melihat Aceh secara jernih untuk jangka panjang. Materi RTRW Aceh harus menjadi pedoman semua pihak untuk pemanfaatan ruang/tapak Aceh serta memberikan perlindungan terhadap semua kepentingan masyarakat, termasuk mengantisipasi sebagai daerah rawan bencana, semoga.
* Penulis (keduanya) adalah pemerhati pembangunan dan Lingkungan, berdomisili di Banda Aceh
Perda Tata Ruang Belum Optimal
BANDUNG, TRIBUN - Untuk menjaga daerah konservasi alam, yang muaranya, menjaga kelestarian lingkungan sekaligus meminimalisir terjadinya bencana, khususnya, di Jabar, setiap pemerintah daerah perlu menerbitkan peraturan daerah (perda).
Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaa Umum (PU), Imam S Ernawi, saat ini, sebanyak 10 pemerintahan setingkat kota dan kabupaten memiliki peraturan daerah (perda). Akan tetapi, imbuh dia, pelaksanaanya tidak optimal dan belum efektif. "Soal sanksi, sejauh ini, ada. Tapi, baru sebatas administratif, belum pada efek jera," kata dia.
Menurutnya, saat ini, kondisi di Jawa, secara umum, sangat kritis. Dalam kondisi seperti sekarang, hutan di Jawa hanya tinggal 9 persen. Sedangkan hutan produktif sebesar 27 persen. Ini berpotensi menyebabkan terjadinya kerawanan. Jadi, perlu adanya peran seluruh stake holder," tukas dia.
Imam berpendapat, sejumlah daerah di Indonesia banyak yang berubah fungsi. Itu pun, lanjutnya, terjadi di kawasan Bandung Utara (KBU). Menurutnya, di kawasan itu, tidak sedikit areal hijau banyak yang berubah fungsi menjadi perumahan. Padahal, tambah Imam, penataan ruang merupakan instrumen pengendali bencana.
Sumber :
Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaa Umum (PU), Imam S Ernawi, saat ini, sebanyak 10 pemerintahan setingkat kota dan kabupaten memiliki peraturan daerah (perda). Akan tetapi, imbuh dia, pelaksanaanya tidak optimal dan belum efektif. "Soal sanksi, sejauh ini, ada. Tapi, baru sebatas administratif, belum pada efek jera," kata dia.
Menurutnya, saat ini, kondisi di Jawa, secara umum, sangat kritis. Dalam kondisi seperti sekarang, hutan di Jawa hanya tinggal 9 persen. Sedangkan hutan produktif sebesar 27 persen. Ini berpotensi menyebabkan terjadinya kerawanan. Jadi, perlu adanya peran seluruh stake holder," tukas dia.
Imam berpendapat, sejumlah daerah di Indonesia banyak yang berubah fungsi. Itu pun, lanjutnya, terjadi di kawasan Bandung Utara (KBU). Menurutnya, di kawasan itu, tidak sedikit areal hijau banyak yang berubah fungsi menjadi perumahan. Padahal, tambah Imam, penataan ruang merupakan instrumen pengendali bencana.
Sumber :
Atasi Masalah Tata Ruang, Pemkab Bentuk BKPRD
SENTANI-Guna mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang di Provinsi dan Kabupaten serta Permendagri Nomor 50 Tahun 2009 tentang pedoman koordinasi penataan ruang daerah, dalam waktu dekat ini Pemkab Jayapura akan membentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD).
BKPRD Kabupaten Jayapura ini nanti akan di pimpin Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai ketua dam Kepala Bappeda selaku Sekretaris serta beranggotakan sejumlah pimpinan SKPD yang berkaitan dengan penataan ruang.
Wakil Bupati Jayapura Zadrak Wamebu, SH, MM mengungkapkan, sebelum Permendagri nomor 50 Tahun 2009 tentang pedoman koordinasi penataan ruang daerah, di Kabupaten Jayapura sebenarnya sudah dibentuk BKPRD diketuai Wabup.
“BKPRD ini kami bentuk untuk kepentingan mengendalikan dan melakukan pengawasan terhadap Perda nomor 21 Tahun 2009 tentang RTRW. Di Provinsi Papua, ternyata Kabupaten Jayapura satu-satunya kabupaten yang telah memiliki Perda RTRW. Bahkan Provinsi sendiri sampai saat ini belum memiliki Perda RTRW,”ujar Wabup kepada wartawan usai membuka Semiloka penguatan BKPRD di Kantor Bupati, kemarin.
Namun, karena dalam Permendagri itu, ketua BKPRD harus dari pejabat yang memiliki eselon tertinggi dan bukan dari pejabat politis, maka selaku pejabat yang memiliki eselon tertinggi Sekda akan ditunjuk sebagai Ketua BKPRD Kabupaten Jayapura.
Tugas dari BKPRD ini adalah, melakukan koordinasi dan mengatasi permasalahan-permasalahan menyangkut pelaksanaan tata ruang, mengendalikan, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan perencanaan tata ruang daerah serta mengoptimalkan peran masyarakat dalam melaksanakan pembangunan sesuai perencanaan tata ruang daerah.
Sementara itu, Staf Direktorat Penataan Ruang Wilayah IV Ditjen Kementerian PU Reza Firdaus mengungkapkan, BKPRD ini bukan sebagai lembaga pembuat kebijakan di daerah, tapi sebatas memberikan rekomendasi kepada kepala daerah kaitannya dalam membuat kebijakan-kebijakan pembangunan di daerahnya.
“Untuk memaksimalkan tugas-tugas BKPRD bisa memanfaatkan para tenaga ahli atau membentuk tim teknis untuk menanggani masalah-masalah tata ruang yang bersifat khusus,”pungkasnya. (mud/tri)
(scorpions)
Perda Tata Ruang Terhambat karena Konflik
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Deddy Koespramoedyo. "DAri target Inpres no. 1 Tahun 2010, hingga akhir tahun 2010 adalah menyelesaikan 17 RTRW Provinsi, 36 RTRW Kabupaten dan 20 RTRW Kota. Sampai dengan 5 Juli 2010 telah ditetapkan 5 perda RTRWP, 8 RTRW Kabupaten dan 3 RTRW Kota," ungkap dia, Senin (19/7).
Lebih lanjut, Deddy merinci, provinsi yang telah menetapkan perda RTRW antara lain adalah Lampung, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Bali, Nusa TEnggara Barat (NTB), dan Sulawesi Selatan. Sementara Kabupaten yang telah menetapkan Perda RTRW Kabupaten adalah Bandung, Bogor, Sidoarjo, Bangkalan, Timor TEngah Utara, Flores Timur, Nabire, dan Jayapura. Kota yang telah menetapkan Perda RTRW Kota adalah Banda Aceh, Yogyakarta dan Probolinggo.
Deddy mengatakan RTRW tersebut ditujukan untuk percepatan pembangunan nasional yang menyangkut koordinasi dengan daerah terutama bidang infrastruktur. Dia mengatakan, selama ini yang menjadi konflik dalam percepatan infrastruktur daerah adalah konflik koordinasi antar wilayah atau dengan pemerintah pusat.
Dia mencontohkan, untuk alih fungsi hutan, pemerintah daerah harus meminta persetujuan Menteri Kehutanan untuk meminta persetujuan alih fungsi hutan. "Waktu normal saja 233 hari. Itu kan sekitar satu tahun. Contohnya saja untuk Kalimantan Tengah mengusulkan alih fungsi setelah sekian lama menunggu malah tidak disetujui," kata dia.
Untuk menghindari konflik tersebut, lanjut Deddy, beberapa upaya percepatan penyelesaian RTRW yang akan dilakukan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) adalah melalui mekanisme "jemput bola" kedaerah dan percepatan penyelesaian peraturan pelaksanaan dari UU sektoral. (Rrn/OL-3)
Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/07/20/156675/3/1/Perda-Tata-Ruang-Terhambat-karena-Konflik
Hurricane Season 2010: Tropical Depression 4W (Northwestern Pacific Ocean/South China Sea) 07.19.10
> View larger image
NASA's Aqua satellite's AIRS instrument infrared image on July 18 at 0723 UTC saw an area of very high thunderstorm (purple) cloud tops from northeast to southwest around the center of TD4W.
Credit: NASA/JPL, Ed Olsen NASA Infrared Image Sees Tropical Depression 4 Form in South China Sea
Tropical Depression 04W formed out of disturbance 98W this weekend after this passed over Luzon, the Philippines. NASA's Aqua satellite captured an infrared image that showed strong convection and thunderstorms in its center, helping confirm its organization into a tropical depression.
The Atmospheric Infrared Sounder (AIRS) instrument uses infrared capabilities to take the temperature of various factors associated with a tropical cyclone, from cloud top temperatures which indicate strength of thunderstorms within (colder cloud tops indicate higher, stronger thunderstorms) to sea surface temperatures (those greater than 80 Fahrenheit help power tropical cyclones). When NASA's Aqua satellite flew over Tropical Depression 04W (TD4W) on July 18 at 0723 UTC (3:23 a.m. EDT), it saw an area of very high thunderstorm cloud tops from northeast to southwest around the center of TD4W. Those temperatures were colder than -63 Fahrenheit and indicate strong convection (rapidly rising air that forms thunderstorms).
At 1500 UTC (11 a.m. EDT) on July 19 TD4W had still not consolidated and strengthened into a tropical storm. However, the sea surface temperatures in the South China Sea are warm enough to enable strengthening, as long as the wind shear remains low (which is it expected to do). TD4W had maximum sustained winds near 34 mph (30 knots) and higher gusts. It was located about 285 nautical miles west-northwest of Manila, the Philippines, near 15.9 North and 115.9 East. It was moving west-northwestward near 11 mph (10 knots).
TD4W is expected to strengthen into a tropical storm and move toward the northwest for a landfall south of Hong Kong in a couple of days.
Text credit: Rob Gutro, NASA/Goddard Space Flight Center
Dua Hutan Nagari Disiapkan
Skema REDD
Selasa, 20 Juli 2010 | 20:26 WIB
PADANG, KOMPAS.com - Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tengah menyiapkan perubahan status dua kawasan hutan di Simanau, Kabupaten Solok, Sumatera Barat seluas 3.000 hektar dan Simancung, Kabupaten Solok Selatan seluas 900 hektar menjadi hutan nagari.
Direktur Eksekutif KKI-Warsi Rakhmat Hidayat, Selasa (20/7/2010) di Kota Padang mengatakan, perubahan status menjadi hutan nagari nantinya bakal berkontribusi dalam skema pengurangan emisi dari pembalakan dan degradasi hutan atau REDD yang kerjasamanya meliputi sejumlah negara.
Selain itu juga direncanakan untuk pengelolaan biota lingkungan, energi air, dan pengembangan tanaman lain seperti hasil kayu untuk tanaman obat.
Sumber : http://regional.kompas.com/read/2010/07/20/2026071/Dua.Hutan.Nagari.Disiapkan
Direktur Eksekutif KKI-Warsi Rakhmat Hidayat, Selasa (20/7/2010) di Kota Padang mengatakan, perubahan status menjadi hutan nagari nantinya bakal berkontribusi dalam skema pengurangan emisi dari pembalakan dan degradasi hutan atau REDD yang kerjasamanya meliputi sejumlah negara.
Selain itu juga direncanakan untuk pengelolaan biota lingkungan, energi air, dan pengembangan tanaman lain seperti hasil kayu untuk tanaman obat.
Sumber : http://regional.kompas.com/read/2010/07/20/2026071/Dua.Hutan.Nagari.Disiapkan
Langganan:
Postingan (Atom)
Dr. Oldy, A. A : Dampak Penambahan Kuota Beasiswa terhadap Universitas Muara Bungo dan Masyarakat
Muara Bungo, 8 Desember 2024 – Penambahan kuota beasiswa di Universitas Muara Bungo (UMB) menjadi salah satu langkah strategis yang tidak...
STUDY TATA RUANG
Struktur Sungai
-
*Kota Sungai Penuh* — Alfin SH, calon kuat dalam pemilihan Wali Kota Sungai Penuh, kembali menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak hanya tentan...
POLA RUANG SUMATERA
Kec. Jambi Selatan - Kota Jambi
BERHALE ISLAND
ISI IDRISI TAIGA
Desa Batu Kerbau - Kab. Bungo
PERATURAN TATA RUANG
DOWNLOAD PETA-PETA
Labels
Study Tata Ruang
(6)
Geospasial
(3)
PETA RTRW
(3)
PERDA RTRW
(2)
Peta Taman Nasional Bukit 30
(2)
Gunung Kerinci
(1)
Perencanaan Wilayah dan Kota
(1)
Peta Administrasi
(1)
SPASIAL
(1)
TANYA-JAWAB
(1)
TNBT
(1)
UU No 4/11 Informasi Geospasial
(1)
COMMUNICATE
+62 812731537 01