Jumat, 13 Agustus 2010

Pemahaman Kriteria dan Kesiapan Kaltim Sebagai Provinsi percontohan REDD+ dalam Kerangka LoI Indonesia_Norwey Samarinda, 30 Juli 2010


Executive Summary ; Isu  global  Perubahan  Iklim  dan  pengaruhnya  terhadap  Perencanaan  Pembangunan  berbasis pemanfaatan SDA, 

Pembangunan berkelanjutan dengan memanfaatkan Sumberdaya Alam (SDA) yang tersedia baik yang dapat (renewable) dan tidak dapat diperbaharui (non-renewable) serta kaitannya dengan dampak dan masalah lingkungan yang ditimbulkan telah menjadi kesepakatan dan agenda dunia-global sejak tahun 1978. Secara faktual terutama di negara-negara sedang berkembang, pembangunan ekonomi yang berbasis pemanfaatan SDA telah memberikan kontribusi bagi tumbuh berkembangannya kekuatan ekonomi baru di dunia.

Tetapi disisi lain dan pada saat yang bersamaan telah menimbulkan berbagai “bencana ekologis”, antara lain banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya menimbulkan berbagai isu global, antara lain : isu pemanasan bumi (global warming), GRK dan yang sedang mandapatkan perhatian dan sorotan saat ini adalah apa yang disebut sebagai “isu perubahan iklim (climate change). Untuk membahas, mengantisipasi dan menangani dampak dari perubahan iklim telah dirumuskan dan disepakati berbagai inisiatif dan program berskala internasonal serta  skenario antara lain : Un-IPCC, COP dan program REDD (termasuk REDD+).

Komitmen Indonesia – Kalimantan Timur sebagai bagian dari Indonesia terhadap isu Perubahan Iklim,

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki hutan terbesar ketiga di dunia setelah Zaire, memiliki peran penting dalam mensikapi dan menangani masalah-masalah global termasuk masalah Perubahan Iklim yang telah menjadi fokus dari inisiatif-agenda global tersebut. Terlebih sejak ditunjuk dan telah diselenggarakannya Konferensi Parapihak/Conference of the Parties (COP 13) di Bali tahun 2007, Indonesia telah menjadi bagian penting (icon) dari upaya-upaya global dalam penanganan masalah Perubahan Iklim.

Keseriusan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia (global society) dalam mensikapi, mengantisipasi dan menangani masalah Perubahan Iklim ditunjukkan pada saat COP ke 15 di Copenhagen (yang telah menghasilkan Copenhagen Accord), Indonesia mempunyai kometmen untuk mengambil bagian dalam upaya global untuk penurunan emisi carbon sebesar 26% sampai dengan tahun 2020. Dari target nasional tersebut hutan dan kehutanan mempunyai posisi yang strategis dan penting, karena dari target-janji Indonesia dalam penurunan emisi sebesar 26% tersebut, 14% diantaranya “tugas atau bertumpu pada hutan dan kehutanan”.

Provinsi Kalimantan Timur, merupakan provinsi di Indonesia yang memiliki kawasan hutan terbesar setelah pemekaran Papua, yaitu berdasarkan SK Menhut no 79/Kpts-II/2001, kawasan hutan Kaltim adalah seluas 14.651.553 ha. Sejak dimanfaatkannya sumberdaya hutan lembab tropis diluar Pulau Jawa dalam pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah pada tahun 1970-an, Provinsi Kalimantan Timur telah menjadi “barometer” hutan dan kehutanan di Indonesia.

Dengan demikian dalam kaitannya dengan penanganan masalah dampak dari perubahan iklim, Provinsi Kalimantan Timur memiliki peran strategis dalam mendukung komitmen nasional sebagai bagian dari upaya global untuk mereduksi emisi karbon sebagaimana dikemukakan di atas. Komitmen Provinsi Kalimantan Timur dalam mendukung program nasional dan global tersebut di atas diwujudkan dengan telah “dicanangkannya Kaltim Green” sebagai konsep pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan melalui Tata Kelola Pemerintahan (Govrenance) yang “hijau” pula (Green Governace).

LOI Nor-In sebuah peluang dan konsekuensi serta tantangannya dalam pelaksanaan REDD+

Dalam penyelenggaraan COP-15 di Copenhagen telah dideklarasikan Copenhagen Accord (walaupun tidak mengikat), telah dirumuskan kesepakatan bersama antara negera maju (developed countries) dan negara berkembang (developing countries) untuk mensikapi bersama masalah Perubahan Iklim (Climate Change). Sebagai wujud dari komitmen bersama tersebut Copenhagen Accord juga akan membangun mekansme mobilisasi dana sebesar $ 30 milliar dalam kurun waktu 3 tahun ke depan. Disamping rumusan Copenhagen Accord juga telah dirumuskan 5 pekerjaan rumah bagi kepela negara yang hadir dalam COP-15, diantaranya adalah : a). Setiap negara harus menterjemahkan Copenhagen Accord kedalam perumusan kebijakan dan kegiatan untuk mereduksi penurunan emisi karbon, b). Setiap negara harus merumuskan kebijakan dalam rangka pengurangan emisi karbon dari deforestasi.

Sebagai tindak lanjut dari Copenhagen Accord tersebut telah ditanda tangani kesepakatan bersama antara Pemerintah Norway dan Pemerintah Indonesia LOI (Letter Of Inten -Surat niatan), yang bertujuan untuk berkontribusi terhadap pengurangan signifikan GRK dari deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut dengan cara mengembangkan dialog kebijakan mengenai kebijakan internasional di bidang perubahan iklim, terutama kebijakan nasional mengenai REDD+ dan bekerja sama dalam mendukung pengembangan dan implementasi strategi REDD+ di Indonesia.

Dalam pelaksanaan Surat Niat/ LoI sampai dengan tahun 2013 terdapat 3 phase, yakni a). Fase persiapan (yang meliputi antara lain : menuntaskan strategi REDD, mengembangkan lembaga, pengembangan strategi MRV), Fase transformasi (yang meliputi antara lain: pengembangan kapasitas di tingkat nasional, pelaksanaan di tingkat provinsi pilot  dan Fase kontribusi (yang meliputi antara lain: Indonesia menerima kontribusi dari credit carbon sesuai dengan standar internasional dan Norwegia (atau negara lain) menyalurkan dukungan finansial) ada pengurangan emisi GRK yang terverifikasi (VER: Verified Emission Reduction)

Pada dasarnya-hakekatnya LoI Nor-RI mempunyai dua sisi yang perlu dipertimbangkan dalam mengadopsi dan melaksanakannya, karena pada dasarnya disatu sisi LoI Nor-RI merupakan “peluang pendanaan bagi pelaksanaan REDD+ sebagai salah satu cara mengatasi emisi karbon, tetapi disisi yang LoI Nor-RI juga mempunyai konsekuensi-merupakan tantangan. Konsekuensi bisa positif dan negatif yaitu berupa : a). Positif (peluang) : Mendapat reputasi internasional,Kemungkinan mendapat dukungan finansial dari VER,Mendapat dukungan pengembangan kapasitas untuk monitoring hutan (dalam rangka MRV) dan Senantiasa diperhatikan oleh dunia sedangkan yang Negatif (tantangan): Harus melakukan ‘penyesuaian’ strategi pembangunan daerah, Harus mengembangkan strategi pembangunan ekonomi yang baru (ada ekonomi carbon, jasa lingkungan, dll)

Sosialisasi tentang pemahaman dan kesepakatan terhadap isu perubahan iklim serta pengaruhnya – konsekuensinya dalam pembangunan berbasis SDA, khususnya di Kalimantan Timur,

Dalam tahapan pelaksanaan LoI Nor-RI dinyatakan bahwa dalam fase-tahapan kedua perlu ditunjuk dan ditetapkan adanya Provinsi Pilot (percontohan) untuk mengimplementasikan LoI di Indonesia. Sebagaimana halnya dengan daerah (provinsi) lain, pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur direncanakan dan dilaksanakan dengan berbasis pada pemanfaatan SDA, termasuk sumberdaya hutan dan lahan. Dalam impementasi LoI Nor-RI dituntut adanya perubahan atau penyesuaian perencanaan pembangunan terhadap isu Perubahan Iklim dimana REDD+ termasuk instrumen untuk mengatasinya.

Sebagai konsekuensi lanjut dari hal tersebut di atas, maka diperlukan pemahaman bersama antara unsur atau komponen pembangunan di daerah sebagai Provinsi Pilot (uji coba) REDD+. Dalam rangka membangun pemahaman bersama tentang LoI Nor-RI di atas, maka pada Tanggal 20 Juli 2010 dilaksanakan LokakaryaPemahaman Kriteria dan Kesiapan Kaltim sebagai Provinsi Percontohan REDD+ dalam kerangka LoI Nor-RI”. Tujuan Pertemuan adalah memperkenalkan kriteria dan indikator untuk pemilihan provinsi pilot. Tentang Kriteria dan Indikator dibangun oleh para pihak, masih mungkin untuk disempurnakan, karena penilaian provinsi untuk menjadi pilot akan dilakukan secara imparsial dan objektif.

Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan LoI Nor-RI, dimana Provinsi Kalimantan Timur sebagai salah satu daerah percontohan, maka semua komponen pembangunan yang ada di daerah ini harus memahami persyaratan-persyaratan yang dituangkan kedalam 4(empat) Kriteria, yaitu : a). Aspek Tata Kelola Pemerintahan, b). Aspek Biofisik hutan, c). Aspek Sosial ekonomi hutan dan d). Aspek Data dan MRV dan secara keseluruhan dirinci kedalam 17(tujuh belas) indikator pemilihan. Berdasarkan pemahaman terhadap Kriteria dan Indikator tersebut, maka komponen (para pihak) pembangunan Provinsi Kalimantan Timur dapat dan harus mampu mengidentifikasi “kekuatan (apa yang telah ada)” dan Kelemahan (apa yang masih harus dikerjakan untuk memenuhi persyaratan Kriteria dan Indikator).

Identifikasi tersebut perlu dilaksanakan sebagai konsekuensi apabila Provinsi Kalimantan Timur ditunjuk dan ditetapkan sebagai daerah percontohan implementasi LoI Nor-RI dalam program REDD+. Hal ini berkaitan dengan “konsekuensi negatif-tantangan” dari LoI Nor-RI, yaitu perlu adanya perubahan atau penyesuaian “strategi pembangunan daerah yaitu mengembangkan pembangunan ekonomi berbasis pemanfaatan SDA dengan mempertimbangan emisi karbon dan aspek lingkungan”.

Sebagaimana dikemukakan bahwa pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur direncanakan dan dilaksanakan dengan memanfaatkan SDA, dengan kecenderungan pemanfaatan non-renewable SDA sebagai kontributor (tulang punggung) pembangunan ekonomi. Sudah barang tentu perubahan dan langkah-langkah penyesuaian harus dilakukan oleh seluruh parapihak-komponen pembangunan di Provinsi Kalimantan Timur (terutama di tingkat Kabupaten/Kota).

Identifikasi dan hasilnya tentang kesiapan serta konsekuensinya bagi Kalimantan Timur sebagai Provinsi Percontohan

Lokakarya yang diselenggarakan pada tanggal 20 Juli 2010, dihadiri oleh peserta yang memiliki tingkat keterwakilan yang cukup memadai, baik dari unsur Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan), perwakilan Kabupaten/Kota se Kaltim, Lembaga Swadata Masyarakat, Lembaga Internasional, Swasta dan Perguruan Tinggi. Dalam penutup sambutannya Bapak Gubernur menyatakan bahwa berdasarkan berbagai inisiatif dan program yang sudah dikembangakan dan akan terus berkembang dengan adanya semangat dan dukungan dari seluruh pemangku kepetingan, khususnya dari pemerintahan kabupaten/kota dan masyarakat, saya selaku Gubernur Kalimantan Timur menyatakan bahwa Kalimantan Timur siap untuk bekerjasama dalam pengembangan program

Dari hasil identifikasi kesiapan tersebut, melalui diskusi kelompok dapat disimpulkan beberapa hal pokok sebagai berikut :

Aspek Tata Kelola Pemerintahan (Governance):

Pemerintah Daerah Tingkat Provinsi dan Kabupaten Kota se Kalimantan Timur telah memiliki Visi dan Misi pembangunan berkelanjutan yang dituangkan dalam dokumen perencanaan pembangunan (RPJM, Renstra dan RKD). Dalam implementasi pembangunan juga telah tersedia sistem pengawasan pembangunan berupa antara lain berupa : mekanisme LKPJ pimpinan daerah, pembangunan Kriteria Indikator Kinerja Pembangunan, LAKIP.

Berbagai kebijakan dan inisiasi berkaitan dengan masalah-aspek lingkungan dan konservasi telah dilaksanakan Pemerintah Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur, antara lain : Deklarasi Kabupaten Konservasi, kebijakan pembangunan ramah lingkungan (Bontang Lestari di Kota Bontang, Green Clean Healthy di Balikpapan), progran Kalibersih dan lain sebagainya. Pada saat yang bersamaan masyarakat juga telah berpartisipasi dalam pembangunan ramah lingkungan dengan membentuk berbagai jenis kelembagaan, antara lain : Forum DAS, Dewan Kehutanan Daerah, Forum Masyarakat Pesisir, konservasi hutan Mangrove, dan lain sebagainya.

Juga peran dukungan dari Swasta dalam mendukung pembangunan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat  dilakukan melalui pengelolaan Sumberdaya Hutan Secara Lestari, pengembangan sistem dan mekanisme sosial-ekonomi kemsyarakatan melalui program CSR dan kemitraan dengan masyarakat dalam pengelolaan SDA.

Secara keseluruhan kebijakan pembangunan, inisiasi dan program yang telah dan akan terus dikembangkan di atas, dikemas dalam sistem pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan bagi kesejahteraan masyarakat, yaitu konsep “Kaltim Green à Green Development melalui Green Governance”. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut diatas, beberapa hambatan yang masih harus terus diupayakan solusinya, antara lain : a). Pemahaman konsep pembangunan yang mengintegrasikan isu perubahan iklim dan emisi karbon, b). Persoalan Tata Ruang sebagai basis perencanaan pembangunan, c). Adanya tumpang tindih pemanfaatan lahan yang belum dijamin kemantapannya jangka panjang dan d). Belum tersedianya SDM yang memiliki kompetensi dan profesionalitas yang mamadai baik kuantitas dan kualitasnya.

Aspek Biogeofisik Hutan,

Kalimantan Timur memiliki ± 700.000 ha lahan gambut sebagai sumber dan peyumbang emisi karbon terbesar yang tersebar di berbagai wikayah, terutama di Kabupaten Nunukan. Potensi kontribusi emisi karbon dari kawasan hutan tidak hanya berasal dari lahan gambut, tetapi juga oleh akibat terjadinya kebarakan hutan yang merupakan “bahaya laten” untuk hutan lembab tropis di Kalimantan Timur.

Penerapan kaidah kelestarian telah dikembangkan dan diterapkan dalam pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman di Kalimantan Timur. Pengembangan teknologi ramah lingkungan dan konservasi telah diterapkan pula dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, antara lain : penerapan pembalakan ramah lingkungan (Reduced Impact Logging = RIL), penerapan konsep High Conservation Value Forest (HCVF) kedalam sistem inventarisasi hutan dan penerapan sistem perencanaan berbasis neraca sumberdaya hutan yang dikembangkan melalui pelaksanaan Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB).

Kalimantan Timur termasuk salah satu Provinsi yang “kaya akan masalah perlindungan sumberdaya hutan” yang disebabkan oleh kejahatan kehutanan (forest crime). Secara lebih spesifik penanganan dan upaya “memerangi pembalakan dan perdagangan kayu secara liar (Illegal logging dan Illegal Trade), terus dilakukan secara terpadu walaupun belum tuntas secara keseluruhan.

Aspek Sosial-Ekonomi Hutan

Harus disadari bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan (dalam hal ini  adalah hasil hutan kayu) telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pelaksanaan pembangunan secara nasional dan daerah, yaitu melalui “multiplier effect pemanfaatan SDH dalam pembangunan”. Namun demikian pemanfaatan “multifungsi hutan” masih belum mendapat “perhatian yang cukup proporsional” dalam perencanaan pembangunan berbasis SDA (termasuk SDH).

Secara bertahap dan kondisional telah dikembangkan memanfaatkan multi fungsi hutan (dalam hal ini adalah jasa lingkungan hutan) tersebut melalui pengembangan pola pengelolaan kolaboratif dengan memberdayakan peran masyarakat, antara lain : pengelolaan hutan lindung Sungai Wain, pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM), pengelolaan kawasan konservasi-hutan lindung Wahea, dan lain sebagainya.

Berbagai skema-skenario pemberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan telah dikembangkan, antara lain melalui bebagai sistem-pola, antara lain : a). Sistem hutan kemasyarakat (HKM), b). Sistem Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan sistem Hutan Rakyat (HR). Namun demikian dalam implementasinya masih diperlukan upaya-upaya percepatan dan peran pemerintah dalam menciptakan “prakondisi bagi masyarakat” untuk dapat berperan secara maksimal

Aspek Data dan MRV

Ketersediaan data tentang SDA yang berkualitas, terbaharui dan komprehensif merupakan kebutuhan mendesak bagi penyusunan strategi dan perncanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (biogeofisik dan sosial)  perlu terus diupayakan. Pembangunan jejaring (networking) data dan informasi  secara “sinergi oleh berbagai sumber yang berkompeten” perlu dibangun dan dikembangkan.
Untuk dapat mewujudkan upaya Kalimantan Timur menjadi salah satu daerah percontohan dalam implementasi LoI Nor-RI, diperlukan beberapa prakondisi, antara lain :
 
1. Dapat disyahkannya RTRMP oleh Pemerintah Pusat, sebagai rujukan dan dasar perencanaan pembangunan yang “multi sektor” dan “multi demensi” dan mensosialisaikannya secara transparan kepada seluruh pemangku kepentingan dalam pembangunan. Dengan demikian RTRWP tersebut memperoleh “akseptabilitas yang luas” pada saat di-implementasikan di lapangan,

2. Meningkatnya kesadar-tahuan Pemda dan publik tentang program REDD sehingga dukungan mereka terhadap program REDD semakin optimal, melalui sosialisasi dan komunikasi secara lebih intensif,

3. Terintegrasinya aspek-aspek : kelestarian lingkungan (termasuk aspek perubahan iklim dan emisi karbon) sebagai variabel penting dalam sistem perencanaan pembangunan ekonomi daerah,

4. Terwujudnya akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan, sehingga peran serta dan pemberdayaan masyarakat dalam program REDD+ dapat optimal,

5. Terbangunnya kelembagaan REDD (Pokja REDD) disetiap tingkatan pemerintahan di daerah (kabupaten/Kota) yang memiliki semangat (spirit) Road Map bagi pengembangan dan pelaksanaan program REDD+

Samarinda, 4 Agustus 2010
Sekretariat POKJA REDD-Kaltim

sumber :http://reddkaltim.or.id/2010/08/laporan-workshop.html

Hatta: RI Bicarakan Pinjaman Norwegia US$1 M Pekan Depan

Hatta Rajasa (inilah.com/agung rajasa)

INILAH.COM, Jakarta - Pemerintah Indonesia dan pemerintah Norwegia akan melakukan pembicaraan kelanjutan pinjaman US$1 miliar untuk pengurangan emisi gas buang pekan depan.
"Pertemuan dengan duta besar Norwegia kemarin terkait kerjasama REDD plus dan nanti pada 18-19 Agustus akan ada perwakilan kerajaan Norwegia untuk membicarakan kelanjutan hubungan terkait pengurangan emisi gas," ujar Menko Perekonomian Hatta Rajasa, dalam jumpa pers di kantornya, Jumat (13/8).

Ia menjelaskan dalam pertemuan tersebut akan dibicarakan pencairan pinjaman tahap pertama sebesar US$30 juta dalam rangka persiapan realisasi penanganan gas buang hingga 2014 nanti. "Pencairan tahap pertama awalnya sebesar US$200 juta, tapi disepakati US$30 juta dan kita melakukan pencairan bertahap hingga US$1 miliar," ujarnya.

Selain itu, kedua pemerintah juga akan membicarakan prasyarat dan kondisi peminjaman termasuk membicarakan propinsi yang akan menjadi proyek percontohan, pembentukan consultative group serta pembentukan institusi keuangan yang kredibel dan mengikuti standar internasional.

Sebagai informasi, dalam dokumen Letter of Intent (LOI) Indonesia-Norwegia yang ditandatangani pada 26 Mei 2010 disebutkan mulai Januari 2011 juga telah dioperasionalkan instrumen pendanaan oleh pemerintah Norwegia sebesar 200 juta dolar AS sampai 2014.

Dalam Dokumen LOI tersebut juga disebutkan peluncuran program uji coba propinsi REDD plus (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang pertama dimulai pada Januari 2011, yang dilanjutkan uji coba REDD plus untuk propinsi kedua pada 2012.

Sebagai tindak lanjut LOI tersebut, pemerintah akan membentuk tiga lembaga yaitu lembaga keuangan, lembaga yang menangani MRV (measurement, reporting and verification) dan lembaga yang menangani REDD plus (Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradation). [cms]

sumber : http://www.inilah.com/news/read/ekonomi/2010/08/13/740141/hatta-ri-bicarakan-pinjaman-norwegia-us$1-m-pekan-depan/

Dr. Oldy, A. A : Dampak Penambahan Kuota Beasiswa terhadap Universitas Muara Bungo dan Masyarakat

  Muara Bungo, 8 Desember 2024 – Penambahan kuota beasiswa di Universitas Muara Bungo (UMB) menjadi salah satu langkah strategis yang tidak...

Struktur Sungai

Struktur Sungai

POLA RUANG SUMATERA

POLA RUANG SUMATERA

Kec. Jambi Selatan - Kota Jambi

Kec. Jambi Selatan - Kota Jambi

BERHALE ISLAND

Pulau Berhala
Large selection of World Maps at stepmap.com
StepMap Pulau Berhala


ISI IDRISI TAIGA

ISI IDRISI TAIGA

HOW TO GOIN ON BERHALE ISLAND

Kota Jambi

Desa Batu Kerbau - Kab. Bungo

Desa Batu Kerbau - Kab. Bungo

TERAKHIR DI UPDATE GOOGLE

COMMUNICATE

+62 812731537 01