Perlindungan Lansekap Ekosistem Bukit Tigapuluh dan Koridornya Yang Potensial Melalui Pengelolaan Kolaboratif Dan Partisipatif Dalam Upaya Pelestarian Keanekagaraman Hayati Daratan Dan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
Lansekap ekosistem Bukit Tigapuluh merupakan salah satu perwakilan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang mempunyai nilai konservasi luar biasa dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Oleh karena itu Lansekap ekosistem Bukit Tigapuluh merupakan salah satu daerah keanekaragaman hayati yang penting (Key Biodeversity Area) di Sumatera.
Dari berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan Direktorat PHPA (1977), FAO (1982), NORINDRA (1992) dan Ekspedisi Biota-Medika oleh IPB-UI-Depkes RI-LIPI (1998) tercatat keanekaragamanhayati yang tinggi di kawasan Bukit Tigapuluh, yaitu:
- 59 jenis mamalia
- 192 jenis burung dimana 10 jenis terancam punah
(1/3 jumlah jenis burung di Sumatera)
- 700 jenis flora dimanfaatkan penduduk
(79 jenis buah-buahan, 246 jenis tumbuhan obat)
- 603 jenis biota obat
Terdapatnya spesies kunci, yaitu ;
- Gajah Sumatera (Elephans maximus),
- Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatraensis),
- Tapir Melayu (Tapirus indicus),
- Beruang (Helarctus malayanus)
- Rusa (Cervus unicolor),serta
- Orangutan Sumatera (Pongo abelii)
Secara fisiografi kawasan Bukit Tigapuluh tergolong unik, karena menempati suatu kawasan perbukitan yang curam di tengah hamparan dataran rendah sebelah timur Sumatera yang terpisah sama sekali dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan di sebelah baratnya. Kondisi topografi kawasan Bukit Tigapuluh adalah dominan berbukit dengan ketinggian berkisar antara 60 m - 843 m dpl yang secara fisiografi dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian utama yaitu: pegunungan dengan lereng sangat curam (75%), pegunungan dengan lereng agak curam sampai sangat curam (25% - 75%), dan dataran antar pegunungan dan perbukitan kecil (<16%).
Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang menjadi kawasan inti (core area) dalam ekosistem Bukit Tigapuluh ini, secara resmi dibentuk pada tahun 1995 melalui SK Menhut No. 539/Kpts-II/1995 tanggal 5 Oktober 1995 dengan luas 127.698 ha yang berasal dari perubahan fungsi Hutan Lindung Haposipin (HL) dan Hutan Produksi Terbatas di Propinsi Riau seluas 94.698 ha dan HL Sengkati Batanghari di Propinsi Jambi seluas 33.000 ha.
Terbentuknya TNBT tersebut didasarkan atas hasil lobbi dari adanya kerjasama proyek penelitian NORINDRA (Norwegian - Indonesian Rain Forest and Resource Management Project) pada tahun 1991-1992. Para peneliti dari Norwegia dan Indonesia dari berbagai disiplin ilmu melakukan penelitian di ekosistem Bukit Tigapuluh, memperlihatan arti pentingnya dan merekomendasikan kawasan tersebut ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan luas 250.000 Ha. Banyak dokumen penting yang dihasilkan termasuk inventarisasi flora dan fauna, sosial ekonomi dan budaya setempat.
Luas TNBT tersebut menjadi lebih kecil dari apa yang pernah diusulkan pada perencanaan kawasan konservasi sebelumnya oleh karena adanya konflik kepentingan dari pemilik HPH yang ada saat itu, terutama pada areal Hutan Produksi Terbatas. Hal itu berdampak pada bentuk TNBT yang jauh dari ideal untuk kategori taman nasional, karena pada beberapa bagian menjari, sempit dan memanjang sehingga rawan terfragmentasi. Oleh karena itu TNBT merupakan taman nasional pertama yang dibentuk lebih rendah tingkatannya sebagai kawasan konservasi yang diprioritaskan, dan merupakan taman nasional pertama yang dibentuk atas perluasan dari HPH aktif.
Setelah dilakukan penataan batas hingga “temu gelang” maka diketahui luas TNBT sekarang adalah 144.223 ha dan kemudian ditetapkan dengan SK Menhut No. 607/Kpts-II/2002 pada tanggal 21 Juni 2002. Secara administratif kawasan TNBT ini terdapat di wilayah Propinsi Riau seluas 111.223 ha, yaitu yang berada di wilayah Kabupaten Indragiri Hulu seluas 81.223 ha dan di wilayah Kabupaten Indragiri Hilir seluas 30.000 ha, sedangkan di wilayah Propinsi Jambi seluas 33.000 ha, yaitu yang berada di wilayah Kabupaten Tebo seluas 23.000 ha dan di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat seluas 10.000 ha.
Sementara itu kondisi umum di sekitar TNBT yang menjadi daerah penyangganya antara lain adalah terdapatnya kawasan hutan produksi, baik Hutan Produksi Tetap (HP) maupun Hutan Produksi Terbatas (HPT), bekas konsesi HPH yang tutupan hutan alamnya relatif masih baik dan belum terfragmentasi berat, terutama di sebelah Selatan TNBT. Disamping itu terdapat 24 desa interaksi utama yang berbatasan langsung dan berada di sekitar TNBT, serta permukiman masyarakat adat minoritas suku Talang Mamak dan Orang Rimba yang penghidupannya masih bergantung kepada keberadaan sumberdaya hutan dimana hutan merupakan sumberdaya sosio-budaya dan sosio-ekonomi, baik yang berada di dalam kawasan TNBT maupun di kawasan hutan produksi di daerah penyangganya.
Namun kawasan hutan produksi eks HPH tersebut kondisinya dewasa ini sangat terancam untuk dikonversi menjadi HTI, kegiatan pertambagan terbuka (open pit) batu bara, pembukaan lahan hutan atau perambahan hutan secara masif oleh penduduk pendatang yang memiliki modal, dan oleh penduduk lokal melalui pola perladangan yang masih bersifat ekstensif dengan sistem tebas-tebang-bakar. Semakin meningkatnya laju perambahan kawasan hutan produksi tersebut terdukung karena adanya akses jalan angkutan kayu eks HPH, jalan koridor angkutan kayu HTI pulp dari PT Tebo Multi Angro ke pabrik pulp PT Lontar Papyrus Pulp & Paper Industries (Asia Pulp & Paper – Sinar Mas Group), jalan produksi perkebunan sawit dan pertambangan batu bara, serta relatif dekat dengan jalan lintas timur Sumatera di Jambi dan Riau. Disamping itu, banyaknya akses jaringan jalan tersebut seringkali digunakan sebagai akses pencurian kayu (illegal logging) dan perburuan satwa secara liar (poaching). Masalah utama di lansekap ekosistem Bukit Tigapuluh tersebut dapat digambarkan pada gambar pohon masalah dibawah ini.
Berdasarkan masalah utama pada pohon masalah yang digambarkan di atas, maka ekosistem Bukit Tigapuluh yang merupakan salah satu daerah keanekaragaman hayati yang penting (Key Biodeversity Area) di Sumatera perlu dilindungi untuk berbagai kepentingan, baik untuk mendukung kepentingan konservasi yang mendukung efektifitas pengelolaan TNBT dan pelestarian keanekaragaman hayatinya serta nilai jasa lingkungan dan “gudang karbon”, maupun untuk kepentingan ekonomi dan sosial melalui pengelolaan hutan berkelanjutan. Oleh karena itu diperlukan keterpaduan dalam pengelolaannya, sehingga perlu keterlibatan muli-pihak secara kolaboratif serta didukung partisipasi masyarakat secara aktif.
Sumber : Konsorsium Penyelamatan TN Bukit 30
Langganan:
Postingan (Atom)
Dr. Oldy, A. A : Dampak Penambahan Kuota Beasiswa terhadap Universitas Muara Bungo dan Masyarakat
Muara Bungo, 8 Desember 2024 – Penambahan kuota beasiswa di Universitas Muara Bungo (UMB) menjadi salah satu langkah strategis yang tidak...
STUDY TATA RUANG
Struktur Sungai
-
*Kota Sungai Penuh* — Alfin SH, calon kuat dalam pemilihan Wali Kota Sungai Penuh, kembali menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak hanya tentan...
POLA RUANG SUMATERA
Kec. Jambi Selatan - Kota Jambi
BERHALE ISLAND
ISI IDRISI TAIGA
Desa Batu Kerbau - Kab. Bungo
PERATURAN TATA RUANG
DOWNLOAD PETA-PETA
Labels
Study Tata Ruang
(6)
Geospasial
(3)
PETA RTRW
(3)
PERDA RTRW
(2)
Peta Taman Nasional Bukit 30
(2)
Gunung Kerinci
(1)
Perencanaan Wilayah dan Kota
(1)
Peta Administrasi
(1)
SPASIAL
(1)
TANYA-JAWAB
(1)
TNBT
(1)
UU No 4/11 Informasi Geospasial
(1)
COMMUNICATE
+62 812731537 01