Rabu, 22 Juni 2011

"Faktanya, ruang hijau terbuka di Kota Medan tak sampai 1 %"

Tata ruang Kota Medan yang semerawut dan minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berguna sebagai lahan resapan air menjadi salah satu kota terbesar ke tiga di Indonesia ini tidak mendapatkan Piala Adipura sejak tahun 2008.

Sisi lain Syahrul juga melihat adanya ego sektoral antara departemen, masing-masing berbicara, ini bukan porsiku, bukan juridiksiku, bukan kewenanganku. Bila begitu, bisa dibayangkan tata ruang kabupaten / kota dan provinsi carut marut. Meskipun, diakuinya ego sektoral tidak hanya terjadi pada level kabupaten / kota pun provinsi.

Dalam level nasional, ego sektoral juga terjadi. Terlepas dari itu, seharusnya antar departemen bisa duduk bersama melihat secara konferehensif tanpa menunjukkan ego sektoral atau ego departemen."Karena tata ruang ini kan berlaku sampai 30 tahun," bilangnya.

Bagaimana melakukan pembangunan kalau tata ruang daerah tidak beres. Selain memberi ketidaknyamanan bagi masyarakat, investor juga jadi malas berinvestasi di Kota Medan. Menurut Syahrul, mainstream kepala daerah terkait persoalanan lingkungan belum melekat kuat. Kepala daerah menganggap mengedepankan kepentingan bisnis kota jauh lebih penting ketimbang mengedepankan persoalanan lingkungan.

Terbukti, mainstream yang sempit terkait lingkungan ini hanya terbatas pada persoalanan mengatasi sampah. Kepala daerah seakan ‘pura-pura’ lupa, lingkungan yang tidak diperhatikan serius berimplikasi kesegala bidang. Tidak hanya kepada masyarakat juga kepada sektor usaha. Persis yang terjadi pada April 2011, setidaknya banyak usaha yang mengalami kerugian, terutama di sektor transportasi dan perdagangan. Artinya, ini bisa dijadikan pembelajaran, sektor lingkungan bukan sekadar mengatasi sampah pun mengatasi bagaimana mengatasi penggunaan dan pemanfaat ruang. Inilah yang dibungkus dalam penataan ruang tadi.

"Tata ruang adalah persoalanan pembagian ruang, mana kawasan bisnis, mana kawasan hijau. Termasuk juga menentukan dimana kawasan tangkapan air, ruang public. Inilah yang harus ditata dengan baik," bilangnya.

Faktanya yang terjadi di dalam perencanaan pemerintah adalah percepatan pembangunan. Padahal tanpa memperhatikan sector lingkungan, ketika bencana datang, pada akhirnya pemerintah mengeluarkan cost (biaya) yang besar. Belum lagi menghitung alokasi biaya kerugian lainnya. Muaranya hanya satu, tak ada pejabat pemerintahan yang memiliki perspektif lingkungan.

Tak usah jauh-jauh, sudah hampir 10 tahun berlalu, persoalanan Sungai Deli sampai saat ini belum selesai. Jadi siapa pun yang menjadi gubernurnya, siapa pun yang menjadi walikotanya, kalau tidak memiliki perspektif lingkungan, persoalanan ini tidak akan pernah selesai. Dijelaskan Syahrul, sampai saat ini Walhi Sumut masih menunggu keputusan dari pengadilan negeri.

Terakhir, pengadilan tinggi sudah meminta salinan putusan dari pengadilan negeri. Walhi Sumut sebetulnya sudah menyatakan banding pada pengadilan negeri, namun sampai sekarang salinan putusan banding belum juga diterima Walhi Sumut. Sudah setahun berlalu sejak Walhi Sumut mengajukan banding.

Terkait Sungai Deli, Walhi Sumut menuntut pembangunan perumahan di bantaran sungai. Dua diantaranya ada di pelurusan sungai di Jalan Murtatuli, dan pembangunan komplek perumahan di Polonia. Dalam kasus ini sebanyak 14 pihak yang menjadi pihak tergugat. Di antaranya adalah Walikota, Dinas Perairan dan Menteri Pekerjaan Umum. Akibat pembangunan ini tata ruang Kota Medan tidak sesuai dengan amanat yang disebutkan dalam Undang-Undang, harus mempunyai 20-30 persen ruang terbuka hijau dari luas wilayah.

Tak Sampai Satu Persen

"Faktanya, ruang hijau terbuka di Kota Medan tak sampai 1 persen," ungkap Syahrul. Mirisnya, tak ada kawasan ruang terbuka hijau di Kota Medan ini yang luasnya sampai 1 hektar. Inilah pentingnya kawasan pinggiran sungai yang menurut Syahrul sebetulnya bisa dimanfaatkan sebagai kawasan hijau yang dilindungi. Sayangnya, pohon-pohon yang terletak di pinggiran sungai Kota Medan tak lagi hijau, pohonnya penuh warna, terbuat dari batu dan sangat keras, keluhnya.

Sebelum sampai pada titik terilhami menyelamatkan lingkungan di Kota Medan, ada baiknya, sikap dan aksi dimulai dari diri sendiri. Semua pihak juga harus cerdas bersikap. Sebagai contoh. langkah menanam pohon misalnya. Sebelum menanam satu pohon, pikirkan dulu tentang status tanah dimana pohon itu ditanam. 
Jangan-jangan tanah itu adalah tanah tak bertuan. Baru berusia lima tahun, atas kepentingan suatu hal, bernilai ekonomis pula. Mau tak mau pohon terpaksa ditebang. Padahal semboyannya, tanam hari ini untuk generasi yang akan datang. Generasi belum muncul, pohon malah sudah mati.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Alfin SH dan Azhar Hamzah: Memajukan Desa di Sungai Penuh melalui Implementasi Pedoman Pembangunan Desa dan SDGs

Sungai Penuh - Alfin SH dan Azhar Hamzah, calon walikota dan wakil walikota Sungai Penuh, berkomitmen memajukan desa-desa di wilayahnya deng...

Struktur Sungai

Struktur Sungai

POLA RUANG SUMATERA

POLA RUANG SUMATERA

Kec. Jambi Selatan - Kota Jambi

Kec. Jambi Selatan - Kota Jambi

BERHALE ISLAND

Pulau Berhala
Large selection of World Maps at stepmap.com
StepMap Pulau Berhala


ISI IDRISI TAIGA

ISI IDRISI TAIGA

HOW TO GOIN ON BERHALE ISLAND

Kota Jambi

Desa Batu Kerbau - Kab. Bungo

Desa Batu Kerbau - Kab. Bungo

TERAKHIR DI UPDATE GOOGLE

COMMUNICATE

+62 812731537 01