Senin, 09 Agustus 2010

GELOMBANG PANAS DI RUSIA

 
 

In the summer of 2010, the Russian Federation had to contend with multiple natural hazards: drought in the southern part of the country, and raging fires in western Russia and eastern Siberia. The events all occurred against the backdrop of unusual warmth. Bloomberg reported that temperatures in parts of the country soared to 42 degrees Celsius (108 degrees Fahrenheit), and the Wall Street Journal reported that fire- and drought-inducing heat was expected to continue until at least August 12.

This map shows temperature anomalies for the Russian Federation from July 20–27, 2010, compared to temperatures for the same dates from 2000 to 2008. The anomalies are based on land surface temperatures observed by the Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) on NASA’s Terra satellite. Areas with above-average temperatures appear in red and orange, and areas with below-average temperatures appear in shades of blue. Oceans and lakes appear in gray.

Not all parts of the Russian Federation experienced unusual warmth on July 20–27, 2010. A large expanse of northern central Russia, for instance, exhibits below-average temperatures. Areas of atypical warmth, however, predominate in the east and west. Orange- and red-tinged areas extend from eastern Siberia toward the southwest, but the most obvious area of unusual warmth occurs north and northwest of the Caspian Sea. These warm areas in eastern and western Russia continue a pattern noticeable earlier in July, and correspond to areas of intense drought and wildfire activity.

Bloomberg reported that 558 active fires covering 179,596 hectares (693 square miles) were burning across the Russian Federation as of August 6, 2010. Voice of America reported that smoke from forest fires around the Russian capital forced flight restrictions at Moscow airports on August 6, just as health officials warned Moscow residents to take precautions against the smoke inhalation.

References
  1. Iosebashvili, I. (2010, August 4). Death toll rises as Russian fires rage. Wall Street Journal. Accessed August 6, 2010.
  2. Shatalova, E., Kolesnikova, M. (2010, August 6). Moscow inundated by smoke as Russian heartland burns. Bloomberg. Accessed August 6, 2010.
  3. Voice of America. (2010, August 6). Smoke from Russian fires forces flight restrictions in Moscow. Accessed August 6, 2010.
NASA Earth Observatory image by Jesse Allen, based on MODIS land surface temperature data available through the NASA Earth Observations (NEO) Website. Caption by Michon Scott.
Instrument:  Terra - MODIS
 
Sumber : http://earthobservatory.nasa.gov/IOTD/view.php?id=45069

Senin, 02 Agustus 2010

Jakarta dinilai terlalu sumpek sebagai Ibukota RI Mau pindah ke kota mana?

PADA awalnya adalah kemacetan. Lalu berkumpulah tiga ahli itu pada satu siang, di sebuah restoran di Jakarta, Kamis 29 Juli 2010. Mereka begitu bersemangat. Wartawan diundang datang. Pada hari itu, problem macet Jakarta siap dikulik.

“Soal kemacetan bukan cuma soal teknis transportasi,” ujar Andrinof Chaniago. Dia pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia. Suaranya pesimis. Dia, misalnya, tak percaya solusi menambah panjang jalan, dan juga jalan tol. Mass Rapid Transit pun dianggapnya percuma.

Bagi Andrinof, akar macetnya Jakarta sederhana: pekerjaan bertumpuk di tengah kota, tapi para pekerja tinggal di tepi. Akibatnya pada siang hari, populasi di Jakarta membengkak. Kepadatan itu baru mengempis pada malam hari.
Masalahnya, di tengah kota, rumah mahal. Yang tak sanggup beli atau sewa, akhirnya menyingkir ke pinggir. Mereka baru menyerbu ke tengah kota, pada pagi dan siang hari. Di sini muncul soal lain: Jakarta tak punya alat angkut berskala besar, dan cepat.

“Lalu muncul cost of poverty,” ujar Tata Mustaya, rekan Andrinof. Tata adalah master manajemen pembangunan jebolan Universitas Turin, Italia. Pakar lainnya adalah M Jehansyah Siregar, dosen Institut Teknologi Bandung. Jehansyah adalah doktor di bidang pemukiman dari Universitas Tokyo, Jepang.

Mereka bertiga tergabung dalam Tim Visi Indonesia 2033.

Yang dimaksud Tata adalah orang miskin membayar lebih mahal. Kaum menengah ke bawah itu harus berjibaku melawan kemacetan. Untuk sampai ke tempat kerja, ongkos lebih banyak. Berbeda dengan kaum menengah atas, yang tinggal  di tengah kota.

Sebelumnya, pada kesempatan berbeda, Yayat Supriyatna, planolog dari Universitas Trisakti, mengatakan Jakarta tak disiapkan sebagai Ibukota, dengan skala sebesar sekarang. "Pertama, yang harus diingat, kita punya Ibukota karena faktor sejarah," kata Yayat.

Pada awalnya Jakarta adalah kota dagang. Lalu, akibat dinamika sejarah politik, dia harus menampung aktivitas pemerintahan berskala besar. Lantas, yang terjadi fungsi dan peran kota itu menjadi tak jelas.

Pada era Gubernur Ali Sadikin, Jakarta pernah dibenahi. Bang Ali membentuk Perusahaan Umum PPD, sebagai badan layanan umum transportasi, dan membereskan tata guna lahan.

Tapi, akibat paradigma pembangunan Orde Baru yang sentralistis, pembenahan itu pun tak kuasa membendung arus penduduk. Jakarta diserbu pendatang baru. Beban itu baru terasa dekade belakangan. Kota ini kian macet, air bersih kurang, dan banjir kalau hujan.

"Idealnya, penduduknya hanya 4 sampai 5 juta jiwa, setengah dari sekarang," kata Yayat. Statistik terakhir mencatat penduduk resmi Jakarta lebih dari 9,5 juta jiwa.

Inilah yang diingatkan oleh Andrinof. Satu bom sosial siap meledak di Jakarta 20 tahun lagi. Kesenjangan sosial kian tajam, kriminalitas tinggi, taraf kesehatan menurun. Gangguan jiwa meningkat.

"Kalau tak ada keputusan politik untuk pindah Ibukota, kita mungkin menghadapi ledakan sosial seperti Mei 1998," kata Andrinof. Huru-hara 1998 yang menumbangkan rezim orde baru Suharto itu pun terbayang.

Tapi, pindah Ibukota, siapa suka?

Ibukota yang Lain
Nama gedung itu Tri Arga. Artinya tiga gunung. Pekarangannya membentang luas, hampir satu hektare. Ada seorang penjaga di bangunan bergaya kolonial itu. “Bung Hatta pernah berkantor di sini,” ujar Syafril, penjaga gedung itu.

Inilah gedung Istana Wakil Presiden di Bukittinggi, Sumatera Barat. Dia dikenal juga Istana Tiga Gunung, karena berada di lembah Gunung Sago, Merapi dan Singgalang. Istana itu adalah jejak sejarah, bagaimana Ibukota republik berpindah akibat dinamika revolusi.

Kala itu, Indonesia baru tiga tahun merdeka. Dua proklamator, Soekarno dan Hatta, ditahan menyusul agresi militer kedua Belanda. Pada 22 Desember 1948, Syafruddin Prawiranegara memimpin rapat pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi.

Tapi pemerintahan itu tak berkantor di di istana itu. ”Sejumlah kota dikuasai Belanda,” kata Gusti Asnan, sejarawan Universitas Andalas. Para pejuang republik berkumpul di banyak tempat, seperti Bidar Alam (Solok Selatan), dan Koto Tinggi (Payakumbuh).

Syafruddin bergerak, setelah Soekarno-Hatta ditangkap Belanda di Yogyakarta, pada 19 Desember 1948. Selama dua tahun lebih Soekarno-Hatta berkantor di Yogyakarta. Soalnya, politik di Jakarta kian panas setelah proklamasi kemerdekaan.

Adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX berperan dibalik hijrahnya Ibukota Negara dari Jakarta ke Yogyakarta.  “Sri Sultan menyatakan Yogyakarta bergabung dengan Republik Indonesia,” kata Suhartono, sejarawan Universitas Gadjah Mada. Di Jakarta, pertempuran sengit pecah antara pejuang republik melawan Belanda dan sekutu.

Di Yogya, pemerintahan berpusat di Gedung Agung. “Selama 3 tahun Yogyakarta dijadikan Ibukota,” ujar Suhartono. Di kota itu lah, Jenderal Soedirman dilantik sebagai Panglima Besar TNI pada 3 Juni 1947. Sebulan kemudian dia menjadi Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia.

Dari Yogya, kombinasi taktik diplomasi dan militer dilancarkan. Belanda lalu mengirimkan Jenderal Spoor, yang menyerbu Yogyakarta pada agresi kedua 19 Desember 1948. Itulah saat para pemimpin republik, Soekarno dan Hatta ditangkap. Mereka dibuang Belanda ke luar Pulau Jawa, tepatnya ke Brastagi dan Bangka.

Perang baru berhenti pada 6 Juli 1949. Indonesia menang lewat jalan diplomasi. Jakarta pun kembali menjadi Ibukota.

Palangka Raya sebagai Ibukota
Tapi, status Jakarta sebagai Ibukota sempat goyang pada 1957. Saat meresmikan pembangunan Kota Palangka Raya, Presiden Soekarno mengungkapkan rencana Ibukota dipindahkan ke kota itu. Palangka Raya adalah kota baru. Dia dibuka dengan membabat hutan di pinggir sungai Kahayan, Kalimantan Tengah.

Alasan Bung Karno memindahkan ibu kota ke Palangka Raya sederhana. “Daerah itu berada di tengah-tengah, sehingga tidak jauh dari pulau-pulau yang masuk dalam NKRI,”  ujar Suhartono.

Apa kabar Palangka Raya sekarang? Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang, menyatakan sejak dulu Palangka Raya siap menjadi Ibukota. Palangka Raya bahkan sudah didesain untuk menjadi Ibukota.

"Di Palangka Raya, ada bundaran besar mengarah ke delapan penjuru, mengarah ke delapan pulau besar di Indonesia," kata Teras Narang. Artinya, kata Teras, kota itu  terletak di tengah-tengah Indonesia.

Sebagai Ibukota, Palangka Raya aman secara geologi. Ancaman gempa bumi minim. Kota itu tak seperti Jakarta yang berada di dekat patahan gempa. Kota itu juga terluas di Indonesia dengan 2.678 kilometer persegi. Luas daratan Provinsi DKI Jakarta hanya 661,52 km persegi, atau seperempat Palangka Raya.

Belakangan, gagasan pindah Ibukota ke Palangka Raya kembali mencuat. Parlemen, yang berwenang merevisi Undang-undang Ibukota, tak satu pendapat. Ketua Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan, Chairuman Harahap, setuju pemindahan ke Palangka Raya. Ketua DPR Marzuki Alie dan Wakil Ketua Komisi II Ganjar Pranowo senada.

Yang berbeda, Wakil Ketua Komisi II Teguh Juwarno. Teguh mengatakan calon Ibukota sebaiknya adalah Kalimantan Selatan. Menurut politisi Partai Amanat Nasional itu, Kalimantan Selatan lebih siap secara infrastruktur.

Sedangkan Andrinof Chaniago, justru menunjuk Kalimantan Timur. Menurutnya, sebuah kota baru untuk Ibukota harus dibangun di antara Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. “Itulah yang paling tengah,” katanya.

Andrinof mengusulkan, Ibukota baru menempati lahan yang sama sekali kosong sehingga meminimalisir biaya penggusuran, dan tingkat resistensi sosial. Dengan begitu, pemerintah leluasa mengembangkan kota baru yang siap sebagai Ibukota.

Namun seorang politisi di Komisi II, Muslim, mengusulkan sebaiknya kembali ke wacana di masa pemerintahan Soeharto. Dulu, Soeharto menyiapkan Jonggol, Bogor, sebagai pusat pemerintahan.

"Karena Jonggol masih relatif dekat (dengan Jakarta) sehingga dapat menghemat biaya pemindahan Ibukota, infrastrukturnya ada, dan lahan yang sudah dibebaskan di sana begitu luas," kata politisi Demokrat itu.

Menurutnya, sayang bila pembebasan lahan Jonggol yang telah dilakukan di zaman Soeharto, kini disia-siakan begitu saja. Alangkah baiknya, kata Muslim, bila lahan tersebut dibangun menjadi pusat pemerintahan.

Biaya membangun Ibukota
Tapi, berapa ongkos pindah ibukota?  Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sama sekali tak setuju pemindahan Ibukota. Menurutnya, itu bukan perkara mudah. “Butuh dana berapa? Butuh berapa kantor? Kantornya sih mudah dibikin, tapi yang susah bikin rumah,” kata Jusuf Kalla.

Menurut Jusuf Kalla, masalah Jakarta sebagai Ibukota hanya pada kemacetan. Beban sebagai pusat pemerintahan, kata Kalla, sudah berkurang di era otonomi daerah. “Jadi peranan departemen sudah tidak sehebat dulu,” katanya.

Justru karena kemacetan itulah,  Andrinof menilai Ibukota harus pindah. Kerugian akibat kemacetan di Jakarta sudah parah. “Minimal Rp17 triliun per tahun,” ujar Andrinof.

Tapi, kalau pindah Ibukota, berapa ongkosnya? Andrinof dan teman-temannya pernah menyusun kertas kerja biaya pemindahan Ibukota. Angka minimum membangun sebuah Ibukota baru adalah Rp100 triliun, dengan perhitungan program berjalan tahunan.

Jika pembanguan kota baru itu butuh waktu 10 tahun, maka " Kita menyisihkan APBN Rp10 triliun untuk membangun tiap tahun," kata Andrinof. Angka Rp10 triliun per tahun itu, kata Andrinof, lebih kecil dari estimasi kerugian Jakarta setiap tahunnya akibat macet.

Kota baru ini, kata Andrinof, harus bisa memuat minimal satu juta penduduk. "Ada 400 ribu pegawai negeri sipil, dan sisanya keluarga dan kalangan swasta," ujarnya. Tentu kota itu harus punya fasilitas lengkap. Jaringan jalan, drainase, listrik, telepon, bandara internasional, dan perkantoran. Juga istana bagi presiden dan wakil.

Cara membangunnya juga bisa dihemat. Toh tak semua lembaga negara atau pemerintahan harus pindah ke Ibukota baru. Misalnya, kata Andrinof, Bank Indonesia tetap dipertahankan di Jakarta. Markas Tentara Nasional Indonesia, misalkan, bisa saja tetap di Jakarta. " Tinggal pemerintah menentukan mana yang pindah, dan yang tidak," ujarnya.

Pakar pemukiman Jehansyah Siregar, menyebutkan kota baru ini harus dibangun oleh badan negara setara Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Badan inilah melakukan perencanaan, dan mengawasi pelaksanaan pembangunan.

“Sekarang tinggal kemauan politik Presiden. Mau atau tidak melakukannya,” kata pengajar di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung itu.

Laporan Eri Naldi (Bukittinggi) | KDW (Yogyakarta)
Sumber : http://sorot.vivanews.com/news/read/168052-siapa-suka-pindah-ibukota 

Menteri PU: Pemindahan Ibukota Sedang Dikaji

Pemindahan Ibukota harus melibatkan seluruh stakeholder dan para pakar, kata Menteri PU.
 
Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto (kiri).

VIVAnews - Pemerintah sedang mengkaji pemindahan Ibukota dari Jakarta. Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengungkapkan itu usai memperingati Hari Perencanaan Tata Ruang Sedunia di Ancol, Jakarta, Minggu 1 Agustus 2010.

"Usulan itu sudah lama mencuat," kata Djoko. "Kami juga sedang melakukan kajian," katanya.

Kajian pemindahan ini, kata Djoko, masih bersifat umum sehingga belum menyebut ke mana Ibukota dipindahkan. Selain itu, Djoko menyatakan pemindahan harus dibicarakan dengan seluruh pemangku kepentingan, bukan saja pemerintah.

"Pemindahan Ibukota butuh karya yang luar biasa besar, artinya, harus ada kajian dari seluruh stakeholder dan juga para pakar," katanya. "Pemindahan Ibukota bukan seperti boyongan pindah rumah, harus dipikirkan atau direncanakan secara matang," ujar mantan Ketua Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada itu.

Sebelumnya, Jehansyah Siregar, pakar pemukiman dari Institut Teknologi Bandung, menyatakan pemindahan Ibukota harus dilakukan sebuah badan yang memiliki wewenang sekelas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias atau Badan Otorita Batam di masa Orde Baru dulu.
 

Ayo Dukung Pemindahan Ibukota Dari Jakarta


Dukungan pemindahan ibukota negara dari Jakarta kini mulai marak, kolom kompasiana sudah tidak terhitung mengangkat tema tersebut, jejaring sosial facebook dan twitter dengan berbagai group melakukan penggalangan dukungan. Lalu bagaimana dengan anda????

Sebenarnya wacana pemindahan ibukota Negara bergulir setiap periode pemerintahan, dari era orde baru sampai sekarang wacana tersebut sudah mengemuka tapi sampai saat ini tidak pernah terealisasi.

Pada era orde baru presiden Soekarno sudah lama memimpikan Palangkaraya sebagai ibukota Negara, menurutnya Palangkaraya ideal sebagai ibu kota. Dalam buku berjudul “Soekarno & Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangkaraya, karya Wijanarka disebutkan Soekarno dua kali mengunjungi Palangkaraya untuk melihat langsung potensi kota itu menjadi pusat pemerintahan.

Saat meresmikan Palangkaraya sebagai ibukota Kalteng, Soekarno ingin merancang menjadi ibukota Negara, namun rencana itu hanya sebatas wacana karena selain faktor pengadaan bahan dan medan yang sangat sulit, saat itu Indonesia mempersiapkan diri menjadi penyelenggara Games of The Energing Force (Ganefo) sebuah proyek mercusuar bidang olahraga Soekarno yang mencoba menandingi olimpiade.

Dalam era Soeharto juga pernah menyebut Jonggol sebagai kota yang tepat kalau ibukota Negara akan dipindahkan. Namun saat itu Soeharto tidak mengemukakan alasan kenapa memilih kota tersebut. Dalam Era Habibie menjadi presiden juga terlempar wacana kalau ibukota Negara akan dipindahkan ke Sidrap, Sulawesi Selatan, Sidrap dianggap centralnya Indonesia. Kalau menarik benang dari Pulau Nias sampai Pulau Rote, kemudian mengambil tengahnya, maka Sidraplah yang menjadi titik centrum Indonesia.

Mengapa wacana pemindahan ibukota kembali marak? Hal ini tidak terlepas dari semakin banyaknya persoalan yang mendera Jakarta. Sebagai pusat pemerintahan Jakarta juga sebagai pusat perdaganagan dan keuangan, akibatnya sebagai pusat segalanya membuat kota ini menjadi tidak berdaya memikul beban yang semakin hari semakin bertumpuk, angka criminal semakin tinggi akibat segregasi ekonom, kemacetan semakin parah yang makan biaya 17,2 triliun pertahun.

Belum lagi posisi Jakarta yang rawan gempa.
Selain persoalan tersebut para pengamat dan pemerhati sosial memprediksi kalau ibu kota Negara tidak dipindahkan akan terjadi ledakan sosial dalam rentang 20 tahun kedepan seperti tahun 1998. Ledakan sosial itu terjadi karena semakin menajamnya kesenjangan sosial di Jakarta. Kelas menengah kebawah yang tidak bisa mengakses perumahan murah ditengah kota terpaksa mendiami perumahan kumuh atau tinggal diluar Kota.

Ketika tinggal diluar kota muncul beban transportasi karena lapangan pekerjaan hanya tersedia ditengah kota. Disaat yang sama pemerintah tidak menyiapkan pelayanana transportasi massal, cepat dan murah sehingga beban untuk warga menengah kebawah semakin besar. Kelas menegah atas tidak membutuhkan biaya lebih karena tinggal ditengah kota, sementara kelas menengah kebawah harus berjibaku dengan kemacetan dan biaya yang lebih tinggi. Apa yang terjadi dengan keadaan tersebut bila berlangung dalam waktu lama, maka kesenjangan akan memicu terjadinya konflik social.(vivanews.com/news/read/167742)

Namun demikian, meski banyak persoalan yang kini mendera Jakarta tetapi kita tidak boleh gegabah dalam mengambil tindakan atau secara emosional mengambil keputusan untuk segera memindahkan ibukota Negara. Pemindahan ibukota ibarat memindahkan sebuah kehidupan karena bukan hanya statusnya yang dipindahkan tetapi segala aspek yang mendukung harus tersedia sebelum dipindahkan, mulai dari lingkup manusia yang bekerja di dalamnya, sisitem Informasi dan Teknologi, insfrastruktur fisik pendukung serta sistem birokrasi.

Pemindahan ibukota juga membutuhkan anggaran yang tidak sedikit karena pasti memerlukan dana untuk pembangunan infrastruktur seperti perkantoran, perumahan, tempat bisnis dll. Selain soal anggaran harus membuat perencanaan yang matang sehingga konsep tata ruang seperti Jakarta yang amburadul tidak terjadi kalau ada pemindahan kota. Kota Jakarta yang semula sebagai Kampoeng Betawi , semua dilakukan tanpa rencana yang strategis dan konsep yang jelas sehingga Jakarta sulit disebut sebagi kota pemerinthan, kota bisnis pendidikan dsb.

Selain itu juga harus mempertimbangkan aspek yuridis, sekedar informasi bahwa pada tahun 2007 pemerintah bersama DPR RI sudah menyepakati UU No 29 tahun 2007 pengganti UU No 34 tahun 1999 yang mengatur tentang Propinsi DKI Jakarta sebagai ibukota Negara. Dalam UU tersebut diatur tentang pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara kesatuan RI. Namun kalau hanya aspek yuridisnya persoalan hanya pada political will dari legislative dan eksekutif serta dukungan warga.

Seberapa besar keinginan untuk memindahkan ibukota yang sudah terbebani berbagai persoalan tersebut.
Contoh negara yang membagi fungsi atau ibukota yang pernah dipindahkan, Afrika membagi Cafetown dan Johansburg sebagai ibukota Negara dan Pemerintahan, Malaysia membagi Kota Johor sebagai ibukota negara dan Putra Jaya sebagai sebagai Ibukota pemerintahan, Pakistan memindahkan ibukota ke Kota Islamabat, Australia memindahkan Ibu Kota Canbera dari Sydnei.

Indonesia bagaimana? Menurut Kompasianer apakah Indonesia juga harus memindahkan ibukota negara dari Jakarta? Kapan dan dimana yang tepat?

Sumber :  http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/01/ayo-dukung-pemindahan-ibukota-dari-jakarta/

CRITICAL LAND VALUES AND VALUE ON MONITORING STOCK CARBON GAS EMISSION REDUCTION, DAMAGE AND OPENING OF FOREST (REDD) in INDONESIA


Source : Galeri Pemanasan Global

REDD is an important issue in improving the earth's climate. The ultimate goal of this issue is to minimize the opening of forests is important. No exception of Indonesia's forests which have important potential for improvement of the earth's climate. Why this is important, climate change is a global issue regarding the health of the earth. 

Earth disturbance starts from the widening ozone hole, so not too hot sun filters and raised the temperature at the earth's surface, the hole gradually wider and increasingly felt the temperature rise in the earth's temperature. This widening is due to industrial activities on the earth who use substances destroying the protective earth. Forests can improve the earth's climate changes, so the forest is the physical strength of the earth. Currently, the Earth experienced disruption to the physical. The interference can be felt in the ends of the earth the north.


Norway is a country located at the northern end of the earth, the country is expecting RI willing to work together and this has been agreed by both countries in the form of Program REDD (Reducing Emission Deforestration and Degradation). Impact of climate change is felt by Norway, the ice contained in the polar caps have melted due to the earth's surface temperature increases from the increased area of the ozone hole created by the industrial activity on earth. 


Liquid ice movement has been far seaward, and if this ice movement in the opposite direction, then the first country to mendapatkanya Norway. For the Government of Norway together with the Government of the Republic of Indonesia made a deal in the improvement of forests potentially important. Forests can neutralize waste gases of industrial gases that can damage the protective earth from the dangers outside. 


Norwegian cooperation mechanisms and RI is the cost of compensation to the forest that are not damaged in other words the Norwegian forest rented RI to neutralize the exhaust gases of industrial products which are created by the developed countries. Norway to pay compensation to the amount of carbon produced. 


The survey results a few references, the author tries to devise a method to meet such a mechanism. This paper answers the question of how NLK and NMSK affect REDD. The final aim of this paper is to identify important values that can make the program successful REDD. 


Working methods of analysis was done for the Critical Land Value is based on the Technical Guidelines for Spatial Data Compilation of Critical Land in 2004 by the Directorate General of Land Rehabilitation and Social Forestry (RLPS) and Letter of the Director General of RLPS No. S.296/V-SET/2004 dated 5 October 2004. At the Association technique used in this analysis is to overlay or overlaying method and checks or direct surveys in the field. 


Not found in the reference literature on the relationship NLK on REDD, the relationship makes the authors to initiate NLK try to use variables as independent variables in influencing the dependent variable (REDD). Unrestricted free variable is the variable that is determined by the variables measured. 





Measurable variables to meet the NLK as independent variables consisted of variables; spatial data coverage, land, land slope of spatial data, spatial data rate of erosion, the productivity level of spatial data and spatial data management criteria. Results of the measured variables would make the independent variables are bound to translate to the shape of the space form; room is very critical, critical space, space rather critical, space is not critical, the critical potential of space and space is not critical.

Struktur Sungai

Struktur Sungai

POLA RUANG SUMATERA

POLA RUANG SUMATERA

Kec. Jambi Selatan - Kota Jambi

Kec. Jambi Selatan - Kota Jambi

BERHALE ISLAND

Pulau Berhala
Large selection of World Maps at stepmap.com
StepMap Pulau Berhala


ISI IDRISI TAIGA

ISI IDRISI TAIGA

HOW TO GOIN ON BERHALE ISLAND

Kota Jambi

Desa Batu Kerbau - Kab. Bungo

Desa Batu Kerbau - Kab. Bungo

TERAKHIR DI UPDATE GOOGLE

COMMUNICATE

+62 812731537 01